Untuk mengkaji efek samping, diperlukan kajian independen, yang terpisah dari program imunisasi. Penilaian sebab akibat memerlukan suatu tim investigator, termasuk ahli dan pakar lain
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) Prof Hindra Irawan Satari mengemukakan prosedur pemberian imunisasi yang benar dapat mengurangi risiko ikutan setelah imunisasi.

"KIPI merupakan reaksi alami, untuk mengoptimalkan reaksi biokimia dalam tubuh. Sehingga ada yang bisa terjadi kejang, ada rasa tegang, atau kalau cemas dia bisa terengah-engah," kata Hindra dalam agenda Temu Media terkait Pekan Imunisasi Dunia 2023 di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan pemberian imunisasi yang benar dapat menekan rasa sakit selama proses penyuntikan hingga reaksi dalam tubuh.

"Untuk suntikan intramuskular, regangkan, dan tahan kulit dengan lembut di antara ibu jari dan telunjuk. Dorong seluruh jarum ke dalam pada sudut 90 derajat dengan gerakan cepat dan lembut," katanya.

Selain itu, kata Hindra, proses penarikan jarum keluar dilakukan dengan cepat dan lembut pada sudut yang sama saat masuk ke dalam jaringan kulit.

Selanjutnya penerima manfaat imunisasi perlu menjalani proses observasi sampai dengan 30 menit. Jika ditemukan dugaan KIPI, maka perlu segera direspons, dilaporkan, dan diinvestigasi melalui Komite Daerah KIPI maupun Komnas KIPI.

Baca juga: Komnas KIPI: Perlu pantau kondisi anak 1-2 hari setelah vaksinasi

"Untuk mengkaji efek samping, diperlukan kajian independen, yang terpisah dari program imunisasi. Penilaian sebab akibat memerlukan suatu tim investigator, termasuk ahli dan pakar lain," katanya.

Menurut Hindra, KIPI terbagi dalam dua jenis yakni tingkat serius yang ditandai kejadian medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan, atau kematian yang berujung keresahan di masyarakat. Sedangkan KIPI non-serius ditandai dengan kejadian medik setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan penerima manfaat.

Komnas melaporkan KIPI serius di Indonesia pernah terjadi pada 2016 sebanyak sembilan kasus, tiga akibat reaksi vaksin dan enam akibat koinsiden atau tidak ada keterkaitan dengan vaksin.

Kejadian serupa juga dialami pada 2018, sebanyak satu kasus akibat reaksi vaksin dan 2019 sebanyak tujuh kasus akibat koinsiden dan inderminate.

"Terakhir terjadi pada 2022 sebanyak satu kasus karena koinsiden," kata Hindra.

Baca juga: Komnas KIPI: Penyakit serius usai imunisasi bukan karena vaksinasi

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023