Jakarta (ANTARA) - Hasil studi terbaru Cisco menyatakan hanya sebanyak 39 persen dari organisasi di Indonesia yang mempunyai kesiapan matang dalam menghadapi risiko keamanan siber modern.

Hasil studi berjudul "Cisco Cybersecurity Readiness Index: Resilience in a Hybrid World" ini juga menyatakan perusahaan di Indonesia mempunyai kinerja pengamanan siber lebih baik dari rata-rata global yang hanya mencapai 15 persen.

Wakil Direktur Eksekutif dan Manajer Umum Keamanan dan Kolaborasi Cisco Jeetu Patel dalam pernyataan di Jakarta, Senin, mengatakan perusahaan harus menghadapi kompleksitas keamanan siber yang lebih besar seiring dengan pemanfaatan dunia hibrida yang makin besar.

"Organisasi-organisasi harus berhenti melakukan pendekatan pertahanan dengan menggabungkan alat-alat dengan fungsi khusus, dan sebagai gantinya mempertimbangkan platform terintegrasi untuk mencapai ketahanan keamanan sekaligus mengurangi kompleksitas," kata Patel.

Baca juga: Film Oscar jadi sasaran empuk penjahat siber untuk mencuri data

Dia juga mengingatkan pentingnya kesiapan keamanan siber dan menutup celah terjadinya kesenjangan sesuai hasil survei mengingat sebanyak 96 persen responden telah memperkirakan insiden keamanan siber dapat mengganggu kegiatan bisnis dalam 12 hingga 24 bulan ke depan.

Patel memastikan para pemimpin bisnis juga harus menetapkan garis dasar kesiapan di lima pilar keamanan seperti identitas, perangkat, jaringan, beban kerja aplikasi dan data untuk membangun organisasi yang aman dan tangguh.

"Dengan membangun basis, organisasi dapat membangun kekuatan mereka dan memprioritaskan area mana yang membutuhkan lebih banyak kematangan dan meningkatkan daya tahan mereka," kata Patel.

Pimpinan Cisco Indonesia Marina Kacaribu menambahkan upaya untuk adopsi pendekatan platform integrasi di lima pilar kunci sangat penting dalam membantu perusahaan melindungi diri ketika pemanfaatan teknologi makin intens dilakukan.

"Keamanan siber terus menjadi prioritas utama pemerintah dan berbagai perusahaan di Indonesia. Dengan banyaknya layanan yang mengutamakan aplikasi saat ini, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan digital ekonomi tercepat di Asia Tenggara, lebih banyak yang harus dilakukan untuk menutup kesenjangan kesiapan keamanan tersebut," kata Marina.

Hasil studi juga menyatakan biaya yang dikeluarkan karena ketidaksiapan dalam menghadapi ancaman siber bisa sangat besar dengan sebanyak 35 persen organisasi dari 55 persen responden mengaku mengeluarkan biaya minimal 500 ribu dolar AS.

Studi juga menegaskan sebanyak 93 responden siap meningkatkan anggaran siber minimal 10 persen dalam 12 bulan ke depan.

Survei double blind yang dilakukan pihak ketiga independen ini diikuti sekitar 6.700 responden pemimpin keamanan siber sektor swasta di 27 negara untuk menunjukkan kesiapan solusi keamanan siber dan tahap implementasi yang sudah dilakukan.

Baca juga: Perusahaan masih menggunakan belasan solusi keamanan siber

Baca juga: Edgio tawarkan pemutakhiran platform keamanan untuk mengatasi DDoS

Baca juga: Lima ancaman siber yang harus diwaspadai jelang Valentine

Pewarta: Satyagraha
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023