Jakarta (ANTARA) - Produksi film nasional mengalami pertumbuhan yang baik dari tahun ke tahun. Tidak hanya dari segi jumlah penonton dan karya yang didistribusikan, melainkan juga kualitas dan keragaman karya yang diproduksi. Hal ini diamini oleh para pelaku di industri perfilman.

Akan tetapi, industri ini masih menghadapi sejumlah tantangan seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan zaman, seperti kehadiran platform daring yang menjadi alternatif medium tayang selain bioskop serta perubahan perilaku konsumen dalam hal ini penonton.

Hari Film Nasional (HFN) yang jatuh setiap tanggal 30 Maret sudah semestinya diperingati tidak sekadar seremonial belaka, melainkan menjadi momentum untuk menilik lebih dalam sejauh mana industri perfilman nasional telah melaju serta permasalahan apa yang masih menjadi kegelisahan pelaku film.

Badan Perfilman Indonesia (BPI) mencoba mengupas ragam permasalahan yang dihadapi industri perfilman melalui rangkaian konferensi selama enam hari berturut-turut pada 6-11 Maret 2023. Selain untuk mengkritisi permasalahan juga menjadi ikhtiar untuk mempertemukan seluruh pemangku kepentingan terkait tak terkecuali dari pihak pemerintah.

"Hari Film Nasional itu tidak sekadar kita seremonial-seremonial yang selama ini kita lakukan, tetapi  setiap tahun harus menjadi titik untuk mengukur keberhasilan atau kemunduran kita sejauh mana," Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru, kepada ANTARA beberapa waktu lalu.

Gunawan mengatakan bahwa BPI menemukan banyak permasalahan yang memerlukan dialog bersama dengan sejumlah kementerian yang terkait industri film seperti Kemendikbudristek, Kemenparekraf, Kemenaker, Kemenkominfo, hingga Kemendagri.

"Memang ketemu bahwa banyak sekali masalah-masalah yang memang perlu kita duduk bersama," ujar dia.

Permasalahan regulasi bidang perfilman dan hubungan industrial perfilman hanya dua di antara beragam permasalahan yang disoroti dan dipetakan BPI. Ini mencakup dorongan untuk mengganti Undang-Undang (UU) induk perfilman agar ada harmonisasi dengan peraturan lain di luar UU tersebut. Belum lagi, isu ketenagakerjaan pekerja film juga perlu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan.

Regulasi

Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dianggap sudah tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan industri perfilman di masa sekarang. Ditambah lagi, belum adanya rencana induk perfilman nasional (RIPN) sebagaimana yang diamanahkan UU tersebut.

RIPN merupakan dokumen yang mencakup rencana jangka panjang hingga beberapa tahun ke depan dan akan menjadi penunjuk arah untuk semua pihak dan pengambil kebijakan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan perfilman dari pusat hingga ke daerah.

Gunawan mengibaratkan kondisi itu seperti sebuah kapal besar yang berlayar namun tidak memiliki nakhoda. Kalaupun ada nakhoda, kompas yang digunakan sudah rusak. Ekosistem perfilman nasional yang sudah tersedia terdiri dari banyak unsur,  namun ketidakrelevanan UU Perfilman ditambah tanpa RIPN, membuat ekosistem ini tak memiliki arah.

"Kami merasa bahwa penting sekali untuk sesegera mungkin mengharmonisasi seluruh aturan atau UU yang ada, untuk mengganti UU yang sekarang atau UU Perfilman kita. Dan perlu adanya rancangan induk perfilman nasional. Ini yang saya maksud, kompasnya itu rusak, nggak ada kompas, arahnya mau ke mana," kata dia.

Koordinator Bidang Perekonomian Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Reza Fikri Febriansyah, juga menilai bahwa UU induk perfilman yang dikeluarkan pada 2009 tidak relevan dengan kondisi saat ini.

"Harus kita berbincang apa itu film, apa iya masih mau pakai film dalam konteks 2009 karena sudah paling tidak 14 tahun yang lalu. Tanpa kita sadari ini UU 14 tahun yang lalu, UU yang sudah melewati setidaknya dua pemerintahan, dua pemilu," kata dia.

Kehadiran UU No. 33 Tahun 2009 memang lebih baik jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yaitu UU No. 8 Tahun 1992 yang berorientasi bahwa film hanya sebagai alat politik atau propaganda. Akan tetapi, UU No. 33 Tahun 2009 yang menegaskan posisi film termasuk dalam rumpun kebudayaan, rupanya masih memiliki celah.

Menurut Reza, aspek ekonomi film masih minim diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009. Padahal, aspek ini juga penting bagi insan perfilman mengingat film tidak sekadar produk budaya.

"Paling tidak wajah bahwa film itu sudah berubah sehingga, bahkan bukan hanya cukup, sangat beralasan untuk berpikir ulang tentang wajah film di 2009 itu tentu sudah sangat berbeda dengan wajah film 2023 dan wajah film ke depannya yang kita harapkan," kata dia.

Sementara Staf Khusus Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Alex Sihar, menambahkan bahwa UU No. 33 Tahun 2009 belum melingkupi semua ekosistem yang ada di dalam perfilman. Bahkan, ada banyak regulasi di luar UU tersebut yang beririsan dengan bidang film seperti UU Pendidikan hingga UU Ketenagakerjaan. Deregulasi dapat menjadi opsi yang bisa dilakukan.

"Itu menurut saya harus jadi opsi. Kalau enggak, kita hanya menghasilkan regulasi baru lagi yang juga sama beratnya buat bisa dijalanin. Sementara perkembangan ekosistemnya sifatnya dinamis," kata dia.

Problem ketenagakerjaan

Hasil dari konferensi Hari Film Nasional juga menemukan adanya permasalahan pada ketenagakerjaan di industri perfilman. Gunawan pun mendesak agar Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk segera menerbitkan peraturan menteri terkait hubungan industrial.

"Sehingga kita jelas sebagai pekerja. Saya jelas, saya dibayar sekian, apa yang harus saya lakukan, tanggung jawab saya apa, hak saya apa. Itu diatur dalam hubungan industrial. Berapa jam saya harus bekerja. Begitupun dengan pengusahanya," kata dia.

"Jadi semuanya terukur dan terekam dengan baik melalui kontrak kerja yang selama ini kontrak kerja kita sering kali diabaikan," imbuh Gunawan.

Berbeda dengan industri lainnya, industri film memang akan menghadapi kesulitan jika mengikuti sistem ketenagakerjaan dengan maksimal delapan jam kerja. Akan tetapi, pembatasan jam kerja juga dinilai penting dengan mempertimbangkan kesejahteraan fisik dan psikis pekerja film.

Belum adanya standar keselamatan kerja yang baku serta belum seluruh perusahaan menerapkan jaminan sosial untuk pekerja juga menjadi sorotan permasalahan lain dalam industri film. Permasalahan-permasalahan ini sempat dibahas oleh Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi).

Sekretaris Jenderal  Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), Linda Gozali, mengajak perusahaan film untuk menerapkan jaminan sosial termasuk BPJS Kesehatan. Beberapa pihak sudah menerapkannya pada saat pandemi berlangsung dan ia berharap penerapan jaminan sosial ini dapat terus dilanjutkan oleh industri.

Tak hanya berhenti pada aspek kesehatan fisik, Indonesian Film Editors (INAFEd) turut menyoroti aspek kesehatan mental pada pekerja film. Ini berdasarkan pengalaman para editor film yang harus bekerja di depan layar selama berjam-jam.

Standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga menjadi aspek dalam ketenagakerjaan yang kerap dilupakan di industri film. Padahal, aspek ini penting untuk meminimalkan potensi kecelakaan kerja pada pekerja film seperti sinematografer yang bekerja pada ketinggian.

Belum lagi, industri film di setiap lingkup profesinya juga dituntut untuk menghadirkan ruang aman yang bebas dari problem kekerasan seksual. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama mengingat baru Aprofi, yang notabene hanya menaungi profesi produser, yang membuat pedoman pencegahan kekerasan seksual.

Sederet permasalahan yang dihadapi industri perfilman tersebut tentu harus dapat menemukan solusi dan titik terang jika memang mengharapkan wajah perfilman nasional  terus membaik hingga di masa mendatang. Jika tidak, perfilman nasional bisa jadi akan  kesulitan untuk melaju dengan pesat di era yang terus berkembang.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023