Denpasar (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan BaleBengong mengurai sejumlah masalah tanah di Bali lewat peluncuran dua film pendek yang merupakan rangkaian kegiatan kampanye Lestari dalam Tradisi.

Koordinator ICW Agus Sunaryanto di Denpasar, Kamis mengatakan dua film yang berjudul Anak Tiri di Tanah Sendiri dan Galang Kangin yang telah diluncurkan tersebut menunjukkan soal substansi masalah-masalah tanah.

"Tak hanya di Bali juga diantaranya mafia tanah yang bekerja secara terorganisir. Dalam konteks lebih luas, kami pernah memetakan konflik agraria yang terkait dengan korupsi," ujar Agus.

Dari catatan ICW pada 2021-2022, ada 53 kasus pertanahan dan agraria di Indonesia dengan 149 tersangka mulai dari pegawai pertanahan, perangkat desa, pejabat pembuat akte tanah, dan lainnya.

Jika direfleksikan dari Bali, masalah tanah menurutnya dua sisi mata uang. Satu sisi menambah devisa, sisi lainnya berdampak pada lingkungan, air tanah, dan sampah. "Tanah di Bali bukan hanya lahan, tetapi ia penentu keseimbangan ekosistem dan kelestarian budaya Bali," ujar melalui keterangan tertulis.

ICW bersama BaleBengong sebelumnya membuat kampanye Lestari dalam Tradisi, sebuah rangkaian kampanye digital untuk membuka ruang pembicaraan terkait masalah tanah di Bali.

Kampanye ini berlangsung sejak Februari - Maret 2023 dalam bentuk konten digital dan film pendek. Kampanye ini awal dan pemantik untuk membicarakan masalah tanah di Bali.

Film berjudul Anak Tiri di Tanah Sendiri garapan content creator Puja Astawa dan film Galang Kangin garapan Niskala Studio.

Film Anak Tiri di Tanah Sendiri menceritakan soal sulitnya mengurus legalisasi tanah di Bali. Hal ini terjadi karena ada praktik korupsi dan persekongkolan jahat yang dilakukan oleh oknum aparat desa dengan kerabatnya.

Sedangkan film Galang Kangin yang diproduksi oleh Niskala Studio menceritakan gambaran kehidupan warga Bali dengan pariwisata, dampaknya pada perempuan, privatisasi pantai, hingga krisis air di Bali.

Kedua film ini digarap dalam waktu kurang lebih satu bulan dengan asistensi dari sineas, Anggi Noen bersama ICW juga BaleBengong.

Prosesnya melibatkan aktor dan aktris lokal Bali serta dibuat dengan Bahasa Bali. Film ini merupakan medium kampanye sekaligus sarana komunikasi untuk membahas masalah tanah, untuk itu dibuat sedekat mungkin melalui pendekatan dan cerita yang bernilai lokal.

Cerita dari kedua film ini tidak lepas dari kisah nyata dan pengalaman warga Bali terkait tanah. Di awal Januari 2023, ICW, BaleBengong, Kelompok Jurnalis Warga dan Filmmaker di Bali mengadakan diskusi terfokus untuk membincang masalah tanah di Bali.

Hasilnya sebuah inventarisir masalah tanah yang beragam. Mulai dari masalah harga yang melambung, kesulitan warga Bali untuk membeli dan mempertahankan tanahnya hingga penurunan kualitas hidup masyarakat karena alih fungsi tanah.

"Warga Bali mulai kesulitan mendapat air bersih dan bercocok tanam. Namun, permasalahan yang banyak ini tampak sulit diselesaikan karena sulitnya ruang bersuara dan masih minimnya transparansi dalam pengelolaan tanah di Bali," katanya.

Puja Astawa melihat Bali tidak baik-baik saja, tetapi kelihatan baik. "Sekebedik (sedikit demi sedikit) tanah hilang," ujar Puja Astawa.

Sedangkan Wayan Martino, sutradara dari Niskala Studio menambahkan timnya tertarik membawa tema perempuan karena kerap termarjinalkan. Dalam filmnya ia menunjukkan kebingungan tokohnya menghadapi beragam masalah sehingga menyebabkan trauma berkepanjangan.

"Saya menghadirkan tema perempuan, karena ketika ada persoalan apapun, terutama soal tanah, yang paling mendapatkan masalah itu perempuan," ujar Martino.

Lebih dari 50 orang didominasi anak muda menonton peluncuran dua film pendek ini kemudian mengikuti diskusinya.

Sebelum pemutaran, mereka diajak menyampaikan kegundahan melalui melukis kaos dan totebag serta sablon cukil yang didampingi Gilang dan komunitas Disprint Kultur.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Maswandi
Copyright © ANTARA 2023