Dorongan urgensi keterlibatan perempuan ini adalah untuk menekan hegemoni maskulinitas dalam ruang politik.
Jakarta (ANTARA) - Program Officer International NGO Forum on Indonedian Development (INFID) Rizka Antika memandang perlu menggaungkan urgensi keterlibatan perempuan dalam pemilihan umum (pemilu) untuk menunjang diversitas dalam kelompok pengambil keputusan.

"Berbicara diversitas, tentunya berbicara tentang keterlibatan perempuan. Itu salah satu urgensi utama kenapa perempuan harus dilibatkan menjadi pengambil keputusan. Bukan hanya menjadi perwakilan yang deskriptif, melainkan juga substantif," ujar Rizka Antika di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, salah satu cara untuk mendorong keterlibatan perempuan adalah dengan membangun optimisme melalui pembingkaian (framing) karakteristik kepemimpinan perempuan yang khas.

Rizka menilai perempuan memiliki karakteristik kepemimpinan yang berempati, mau bekerja sama, kolaboratif, dan mengayomi. Namun, sayangnya karakteristik tersebut tidak banyak dilihat sebagai karakteristik yang ideal untuk menjadi pemimpin politik.

"Salah satu yang bisa kita lakukan adalah bagaimana membangun narasi dan memberikan ruang. Sebenarnya ada beragam bentuk kepemimpinan yang bisa berhasil dalam menangani permasalahan," ujarnya.

Dorongan urgensi keterlibatan perempuan ini, kata dia, adalah untuk menekan hegemoni maskulinitas dalam ruang politik.

Baca juga: Puan: Keterlibatan perempuan di politik perlu ditingkatkan
Baca juga: Perludem: Minim perempuan di pemilu adalah masalah struktur dan kultur


Dikatakan pula bahwa politik telah didesain oleh laki-laki untuk melanggengkan hegemoni itu sendiri. Oleh sebab itu, perempuan harus berupaya lebih untuk masuk ke dalam ranah politik.

"Sebenarnya ketika baru mau masuk saja (ke ranah politik), itu sudah memberikan harga yang lebih besar uang akan dia bayar karena dia akan menjadi sosok yang menghancurkan hegemoni tersebut," kata Rizka.

Ia menjelaskan bahwa keterlibatan perempuan di ranah politik juga menemui permasalahan dari segi bias pragmatis.

"Permasalahannya ada yang namanya bias pragmatis, baik dari parpol (partai politik) atau dari voters (pemilih), menilai bahwa chance (kesempatan) perempuan akan sangat sulit. Jadi, secara pragmatis mereka akan memilih laki-laki saja," jelas Rizka.

Akan tetapi, Rizka menilai permasalahan tersebut dapat diperbaiki dengan mulai menggaungkan narasai dan membingkai kekhasan perempuan ketika memimpin.

"Framing kekhasan perempuan ini bukanlah kekurangan, melainkan malah jadi power (kekuatan). Nah, ini yang belum banyak framing-nya," ujar Rizka.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023