Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim mengizinkan Siti Hartati Murdaya, terdakwa perkara suap izin usaha perkebunan dan hak guna usaha di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, untuk menjalani rawat jalan terkait sakit yang dideritanya.

"Majelis memberi izin untuk rawat jalan di RS Abdi Waluyo dengan pengawalan, dengan mempertimbangkan jadwal pengadilan dan mengembalikan terdakwa ke rutan setelahnya," kata ketua majelis hakim Gusrizal dalam sidang kasus itu di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Hakim berpendapat bahwa berdasarkan keterangan dokter KPK pada 30 November, Hartati dianjurkan untuk melakukan fisioterapi, dan karena dokter terapis tidak tersedia di poliklinik rutan KPK maka memerlukan pengobatan dokter di luar rutan.

"Maka majelis beralasan hal itu cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka dapat dikabulkan, namun perkara terdakwa tetap dilanjutkan dengan memperhatikan kondisi kesehatan terdakwa bila dimungkinkan," jelas Gusrizal.

Hakim meminta pengobatan rawat jalan Hartati disesuaikan dengan jadwal persidangan yang telah ditentukan.

"Memerintahkan melakukan pengawalan pada saat terdakwa melakukan rawat jalan, setelah selesai dilakukan rawat jalan harus segera kembali ke rutan KPK," ungkap Gusrizal.

Menanggapi keputusan hakim tersebut, pengacara Hartati, Dodi Abdul Kadir, juga kembali mengajukan permintaan terkait makanan yang boleh dibawa untuk kliennya.

"Ada larangan akhir-akhir ini untuk membawa makanan kepada Ibu Hartati, di mana kondisi saat ini mengidap darah tinggi, kolesterol, diabetes, jantung, tiroid dan kandungan jadi perlu makanan khusus sehingga mohon bisa bawa makanan sesuai rekomendasi dokter," kata Dodi.

Hartati yang mantan anggota Komite Ekonomi Nasional tersebut mengatakan bahwa ia sebagai vegetarian merasa kesulitan dengan makanan "katering" dari rutan KPK.

"Kalau dipaksa makan dari katering rutan yang pagi-pagi diberikan seperti kue pasar, santan, dan gula itu racun untuk saya," ucap Hartati.

Ia juga mengeluhkan fasilitas yang ada di rutan KPK karena televisi, kulkas, dan "microwive," dicabut.

"Makanan sudah busuk karena kulkasnya dicabut semua, untuk hari ini makanan saya dipesan semua karena mereka kasihan kepada saya," tambah Hartati.

Menanggapi keluhan Hartati tersebut, hakim Gusrizal hanya mengatakan bahwa fasilitas di rutan merupakan kewenangan kepala rutan, sehingga tinggal melakukan koordinasi dengan rutan.

Dalam perkara tersebut, Hartati mendapatkan dakwaan alternatif yaitu pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp250 juta.

Sedangkan dakwaan kedua adalah pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp150 juta.

Hartati dianggap memerintahkan anak buahnya memberikan uang Rp1 miliar dan Rp2 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu agar menerbitkan surat untuk Gubernur Sulawesi Tengah mengenai IUP PT CCM seluas 4.500 hektare sisa lahan 75 ribu hektare yang masuk dalam izin lokasi tapi belum memiliki HGU.

Surat sejenis dari Bupati Buol kepada Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengenai permohonan kebijakan HGU Kelapa sawit seluas 4.500 hektare ditambah sisa lahan 75 ribu hektar atas nama PT CCM dan PT HIP serta surat Bupati Buol kepada direktur PT Sebuku Inti Plantation.

(D017)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012