Jakarta (ANTARA) - Sejumlah kendaraan umum yang melintasi Provinsi DKI Jakarta mesti memperlambat lajunya karena kepadatan di ruas jalanan ibu kota yang terjadi hampir setiap waktu, baik pagi, siang, sore, bahkan malam hari.

Seperti pada Selasa (4/4) petang, pukul 17.30 WIB, kepadatan terjadi di ruas Jalan Gatot Subroto yang mengarah ke Gelora Bung Karno, Senayan. Kepadatan terjadi karena kendaraan sulit berbelok ke arah Jalan Jenderal Sudirman di Bundaran Semanggi.

Kapasitas Jalan Gatot Subroto (Gatsu), begitu orang Ibu Kota menyebutnya, sebetulnya cukup mumpuni. Setiap ruas jalan utama itu, tanpa mengikutsertakan ruas jalan khusus bus (busway) saja, sudah muat empat hingga lima mobil jenis Alphard berjejer.

Tapi tetap saja petang itu macet tak terhindarkan, diduga karena orang-orang berebut antrean agar cepat sampai rumah dan bisa berbuka puasa bersama keluarga.

Bahkan, kendaraan pribadi milik warga pun sampai masuk ke ruas jalan yang dikhususkan untuk bus (busway), membuat laju bus TransJakarta menjadi ikut-ikutan tersendat.

Uniknya, kejadian seperti itu "biasa" terjadi hampir setiap waktu. Kata "biasa", artinya warga ibu kota seperti sudah maklum jika terjadi macet di ruas-ruas jalan utama ibu kota itu.

"(Gatsu macet nih) ah biasa," demikian respons peserta grup percakapan WhatsApp wartawan di Jakarta.

Tapi kemacetan di Jakarta tak hanya terjadi di satu dua titik jalanan, di Jalan Palmerah, Jakarta Barat, depan Pasar Palmerah, kemacetan lalu lintas juga terjadi petang itu.

Kemacetan terjadi karena adanya angkutan kota non-mikrotrans yang berhenti sebentar di sembarang tempat guna menunggu penumpang datang.

Angkutan kota (angkot) yang berhenti sembarang tempat itu memiliki nomor 09 dan M11.

Kemacetan yang terjadi sepanjang perjalanan membuat jarak dari Apartemen Kalibata City di Jakarta Selatan sampai ke Meruya, Jakarta Barat, menghabiskan waktu hingga satu jam, dengan menaiki sepeda motor.

Jika bukan karena urusan pekerjaan, karyawan di DKI Jakarta mestinya malas harus bermacet-macetan di jalan, seperti pada Selasa itu.

Godaan ingin duduk manis di kendaraan umum, seperti Bus Rapid Transit (BRT) atau Mikrotrans, sebetulnya ada, andai saja kendaraan umum di ibu kota bisa memastikan semua penggunanya duduk tanpa berdesak-desakan saat berada di dalam.

Tapi inilah yang dirasakan warga ibu kota saat ini, sebagaimana disebut oleh Presiden Joko Widodo, pagi macet, siang macet, sore macet, malam pun macet karena pembangunan sarana transportasi yang terlambat 30 tahun.


Pool Car

Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
belum memiliki kesepahaman dengan perusahaan yang berkantor di ibu kota dalam memaksimalkan angkutan khusus karyawan yang bekerja dari kantor (work from office/WFO) dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Padahal, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta membutuhkan kolaborasi berbagai pihak, termasuk perusahaan.

Apalagi, menurut Ombudsman Jakarta Raya, masalah utama dalam kepadatan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya adalah tingginya jumlah pelaju yang berangkat dan pulang dari tempat kerja di Jakarta. Dan para pekerja di Jakarta ini ada yang tinggal di luar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Berdasarkan data kendaraan dalam laman Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia pada 4 April 2023, total kendaraan bermotor di wilayah Polda Metro Jaya adalah 21.878.327 unit, di mana 3,64 juta unit di antaranya adalah mobil pribadi.

Jumlah "penduduk bermesin" roda empat milik pribadi berarti 34,47 persen jumlah penduduk DKI Jakarta, berdasarkan Sensus Penduduk DKI Jakarta tahun 2020 yang mencapai 10,56 juta jiwa.

Sementara luas jalan di lima wilayah administrasi di DKI Jakarta berdasarkan data Dinas Bina Marga pada 2020 adalah 46.426.531 meter persegi. Total luas tersebut meliputi luas jalan dalam kewenangan negara, yaitu 4.998.386 meter persegi dan dalam kewenangan provinsi, yaitu 41.428.145 meter persegi.

Jika memperbandingkan luas jalan dengan luas mobil minibus yang beredar di Indonesia berkisar 9 meter persegi (p=4,9 meter × l= 1,9 meter), dengan analisa sederhana, maka lalu lintas di jalanan DKI Jakarta akan tersendat (stuck) saat 5.158.503 unit minibus turun ke jalan secara bersamaan.

Saat ini, pelaku perjalanan per hari di wilayah hukum Polda Metro Jaya itu sudah mencapai 9 juta unit, termasuk mobil, sepeda motor, truk, serta kendaraan operasional khusus.

Tingginya angka pelaju dari wilayah penyangga Jakarta yang menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk dan penumpukan penumpang di transportasi publik disebabkan oleh kurang pedulinya perusahaan swasta, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD pada kondisi karyawannya yang harus membawa kendaraan milik pribadi untuk bekerja sehari-hari.

Anggaran subsidi dari pemerintah untuk mengurangi ongkos transportasi publik hanya akan menambah jumlah pelaju sehari-hari, bukan mengurai jumlah pelaju yang betul-betul membutuhkan transportasi publik tersebut.

Pemerintah perlu membuat kesepahaman dengan perusahaan-perusahaan yang berkantor di Jakarta tentang kendaraan yang digunakan bersama oleh karyawan dan dianggap sebagai alat bisnis penting yang bisa dikenai pajak lebih rendah (pool car).

Dengan demikian, seluruh karyawan dari level direktur utama (dirut) sampai anak magang sekalipun, bisa memanfaatkan pool car tersebut untuk berangkat ke kantor masing-masing secara bersama-sama.

Agar tidak menambah jumlah kendaraan yang diperlukan, BUMD sektor transportasi mesti turut dilibatkan dalam pembahasan dan pembuatan nota kesepahaman dalam pengoperasian pool car dengan perusahaan yang berkantor di lima wilayah administrasi DKI Jakarta.

Sehingga armada yang saat ini tersedia, namun belum maksimal pemeliharaannya, bisa ditingkatkan operasionalnya secara bersama-sama.

Seperti TransJakarta, dalam rapat kerja dengan Komisi B DPRD DKI pada Rabu (25/1) disebutkan dalam data Dinas Perhubungan DKI Jakarta memiliki armada mencapai 4.700 unit dengan kapasitas penumpang mencapai 1,2 juta per hari.

TransJakarta ditargetkan menambah armada hingga 6.960 unit pada 2024, sehingga kapasitas penumpang bisa bertambah menjadi 1,5 juta orang per hari.

Ongkos yang diterapkan untuk armada pool car ini tidak mesti seperti ongkos transportasi umum yang sudah disubsidi, tapi disesuaikan dengan ongkos bahan bakar minyak (BBM) karyawan saat berangkat sehari-hari menggunakan mobil pribadi, misalnya Rp50.000 untuk pengantaran-penjemputan dalam kota dan Rp100.000 untuk luar kota.

Mungkin baru saat Jumatan saja, anak magang bisa bertemu dengan dirut dalam satu lokasi di luar pekerjaan. Dengan adanya sistem pool car ini, maka tidak menutup kemungkinan pertemuan itu bisa terjadi lebih sering dan meningkatkan rasa empati atasan terhadap kondisi bawahannya.

 

Copyright © ANTARA 2023