Bondowoso (ANTARA) - Yayasan Rayakultura (YR) yang bergerak di bidang pegiat literasi, Selasa 4 Maret 2023, menggelar diskusi "Bincang Buku, Hak Cipta dan Fungsi HAKI" melalui zoom. Acara berdurasi 100 menit ini tidak hanya dihadiri oleh para penulis dan penyair, tetapi juga para mahasiswa Kelas Paket Menulis Buku FBS-Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang didampingi dosennya.

Hadir sebagai sumber pencerah Kartini Nurdin (Ketua Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia/PRCI), dr Handrawan Nadesul (penulis prolifik di bidang kesehatan dan juga penyair), Prof. Wiyatmi (Guru Besar UNY yang telah menulis puluhan buku kajian sastra maupun karya ilmiah), Kurniawan Junaedhie (penyair yang mengelola Penerbit Kosa Kata) dan Naning Pranoto (penulis yang telah menerbitkan lebih dari 100 judul buku fiksi dan nonfiksi serta juga pegiat literasi yang sekaligus Ketua YR sebagai pemrakarsa diskusi), dan Shinta Miranda sebagai moderator.

Diskusi ini digelar selain untuk membuka wawasan para calon penulis, penulis baru, bahkan penulis senior mengenai hak cipta, fungsi HAKI dan proses berkarya, juga untuk klarifikasi apa sanksi bagi penulis yang menggunakan judul karyanya, ternyata judul tersebut telah digunakan orang lain.

Naning Pranoto mengalami kasus serupa ini. "Terus terang, saya perlu pencerahan. Maka saya tanya pada pakarnya, Ibu Kartini dan juga pengalaman teman-teman dalam berkarya, misalnya dokter Handrawan Nadesul sebagai penulis prolifik," ujar Naning Pranoto, dalam perbincangan dengan Antara.

Kasus yang dimaksud adalah, Naning Pranoto menulis buku "Berbagi Nyawa, Wake-Up & Smile" yang menceritakan pengalamannya sembuh dari kanker kandung kemih setelah lima organ abdomennya diangkat. Ternyata, kata "berbagi nyawa" itu sudah digunakan sebagai judul buku karya Johanes Fabou Koraag, yakni "Berbagi Nyawa – Hidup Berbahagia dengan Berdonor Darah", yang ditulisnya tahun 2010. Karena kesamaan awal kata judul tersebut, Johanes menghubungi Kosa Kata, penerbit buku Berbagi Nyawa yang ditulis oleh Naning Pranoto, mempersoalkan hak cipta dan minta klarifikasi.

Menghadapi itu, Naning langsung beraksi. Apalagi, dia pernah duduk juga di PRCI yang dulu namanya YRCI. Ia bersama Kartini pernah roadshow ke sekolah-sekolah, menyosialisasikan hak cipta dan fungsi HAKI. Waktu menulis judul buku itu terjadi spontan, saat dia siuman dari operasi besar pengangkatan lima organ abdomen. Lalu dia bilang pada dokter Yacobus Prang Buwono, Sp.U yang merawat, bahwa Nanaing mau menulis buku untuk berbagi nyawa.

"Dokter Prang orang pertama yang mendengar judul buku yang akan saya tulis. Ia mendukung, mengizinkan saya menulis suka-duka kisah saya selama ia rawat di Rumah Sakit EMC Sentul maupun setelah saya kembali ke rumah. Epik sekali. Itu sejarah jiwa-raga saya. Maka saya layani ketika Dik Johanes minta klarifikasi soal hak cipta judul. Nah, kami menggelar diskusi, sambil ngabuburit," tutur Naning Pranoto.

Dalam diskusi itu, Kartini Nurdin mengungkapkan bahwa adanya kesamaan pada judul buku, sedangkan isinya berbeda, bukan tergolong pada pelanggaran hak cipta. Kartini menyadari bahwa urusan judul buku ini memang tergolong spesifik karena merupakan kumpulan dari kata, sementara kata-kata itu sendiri terbatas. Karena itu, sangat mungkin jika kemudian muncul kasus kesamaan judul antara buku satu dengan buku lainnya. Judul buku karya Naning Pranoto ini bukan tergolong praktik plagiasi karena isinya jauh berbeda dengan buku yang ditulis oleh Johanes Fabou Koraag.

Buku karya Naning Pranoto bercerita tentang pengalaman bagaimana ia mampu bertahan hingga pulih menghadapi penyakit kanker kandung kemih, sedangkan buku yang ditulis Johanes bercerita mengenai bakti sosialnya sebagai pendonor darah. Hal yang Kartini tekankan, ketika seseorang menengarai karyanya dijiplak oleh penulis lain, jalan pertama yang bisa ditempuh adalah mediasi antara para pihak yang bermasalah.

Kartini menyarankan kepada para penulis agar selalu mendaftarkan hak cipta pada buku-buku karyanya, meskipun secara hakiki, hak cipta itu sudah melekat pada karya dan penulisnya. Saran serupa juga disampaikan oleh Prof. Wiyatmi yang selama ini rajin mendaftarkan karya-karyanya ke HAKI.

Dokter Handrawan Nadesul, yang karyanya puluhan judul buku dan ribuan artikel, dalam diskusi ini bercerita, banyak juga tulisannya yang di medsos "dibajak" orang dengan cara dibagikan tanpa mencantumkan namanya.

"Bahkan ada yang ditambah doa-doa atau hal lain. Tapi apa boleh buat? Saya tidak bisa mengontrol medsos," ujar dokter yang penyair itu berusaha ikhlas.

Yang jelas, sejak awal ia menulis memang bertujuan untuk pencerahan bidang kesehatan. Bahkan, ia membuka konsultasi gratis dan rajin berceramah memberi motivasi sehat bagi teman-teman penyair dan penulis.

Naning Pranoto juga tidak mempersoalkan tulisan-tulisannya tentang "creative writing" yang dikutip banyak pihak tanpa izin darinya. Juga ratusan "power point" materi workshop karyanya digunakan oleh berbagai pihak. Secara etis harusnya minta izin, tapi dia membiarkan, karena tujuan dia memang menyosialisasikan "creative writing" sekembalinya dia studi di Australia.

Judul yang mirip, bahkan sama, menurut Kurniawan bisa kita tunjuk, misalmya, novel berjudul "Pulang" karya Leila S. Chodori. Padahal novel judul serupa telah ditulis oleh sastrawan Toha Mohtar tahun 40-an. Kemudian Tere Liye juga menulis novel dengan judul yang sama. Karena isinya berbeda, maka tidak dipermasalahkan dan tidak bisa dibawa ke ranah hukum.

Kurniawan lalu menambahkan, judul novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira ANM Massardi juga digunakan lagu oleh Ahmad Dhani dengan Dewa-19. Hanya saja, kasus itu aman-aman saja.

"Jadi, judul buku Berbagi Nyawa tidak ada masalah, seperti yang dikatakan Ibu Kartini sebagai Ketua PCRI," ujar Kurniawan.

Perkataan senada juga ditegaskan kembali oleh Kartini Nurdin dan agar diambil hikmahnya, yakni anggap saja untuk keperluan promosi bersama. Handrawan Nadesul sebagai pemberi kata pengantar buku karya Johanes maupun buku karya Naning Pranoto tersebut membuat klarifikasi bahwa kata awal judul memang buku sama, tapi isinya sangat berbeda. Sehingga, kedua judul itu tidak ada masalah.

Johanes yang telah berdonor darah sebanyak 168 kali itu pun memahaminya. Bagi dia mengklarifikasi judul untuk memantapkan karyanya. "Saya menulis buku bukan untuk uang semata. Tapi untuk kemanusiaan," katanya.

Sebagai penutup diskusi, Naning menekankan bahwa bagi seorang penulis sangat penting berselancar di media pencarian lewat internet jika ingin menulis dan menerbitkan sebuah buku. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dengan pihak lain jika ternyata ada judul sama dan telah terbit sebelumnya.


Pentingnya "browsing" ini bukan hanya untuk penulisan buku, bahkan untuk menulis artikel atau mungkin karya fiksi, semacam cerpen, juga perlu mencari tahu apakah judul yang dipilih ada kesamaan dengan judul karya orang lain yang telah terbit terlebih dahulu. Jika mengutip, harus menyebutkan sumbernya.

Lepas dari kasus kesamaan judul ini, Naning yang dikenal sebagai perintis "menulis kreatif" ini terus mengajak anak muda untuk tidak lelah atau takut menulis.

Naning menghimbau anak muda peserta diskusi untuk tidak pernah takut "melarat" atau hidup susah dengan pilihan hidup menjadi penulis. Menulis adalah pilihan hidup mulia karena dengan itu seseorang mampu menghadirkan warisan sangat berharga bagi kehidupan generasi selanjutnya.

Meskipun tidak hidup dalam keadaan serba mewah, Naning yang telah berani memilih hidup sebagai penulis, terbukti mampu menjalani hidup dengan berlimpah kebahagiaan. Karena itu, khususnya anak-anak muda, terus dan tetap beranilah menulis. Kekayaan tidak hanya diukur dengan uang semata.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023