Bondowoso (ANTARA) - Kehidupan ini hakikatnya adalah arena memperjalankan jiwa menuju kualitas terbaik sebagai sebaik-baik penciptaan. Karenanya tidak ada sama sekali manusia yang terlepas dari masalah. Masalah adalah tugas sekaligus peran yang harus manusia terima dan jalani.

Banyak jalan bagi manusia untuk menyelesaikan masalah, termasuk jalan terakhir yang bukan menjadi kehendak Ilahi dengan memilih pintu frustasi, bahkan mengakhiri paksa kehidupan. Tentu ini bukan jalan baik karena berangkat dari motif mengingkari kehendak Tuhan untuk apa kita dihadirkan ke dalam ruang waktu semesta ini.

Apa yang dipilih oleh sejumlah perempuan dan beberapa di antaranya juga kaum lelaki dalam Komunitas Putih (KuPu) ini bisa menjadi model bagaimana kita berselancar dengan indah dalam lautan masalah.

KuPu adalah komunitas yang diinisiasi oleh aktivitas perempuan yang juga penulis, Naning Pranoto, ini memilih jalan "menulis cerita" sebagai katarsis untuk menumpahkan sampah-sampah emosi yang menumpuk dari residu masalah.

Mengutip pernyataan dr Handrawan Nadesul, seorang dokter yang juga penulis, Naning menyadari di balik kemajuan peradaban ini juga membawa manusia pada penderitaan. Karena itulah ia mewadahi derita-derita manusia moderen itu dalam "bak sampah" imajinatif, yakni menulis.

Bukan hanya menampung sampah-sampah batin, lewat komunitasnya Naning juga ingin membasuh bersama bekas luka itu agar menjadi indah dan pemilik batin itu menjadi manusia-manusia bahagia serta mampu mengaktualkan potensi terbaiknya di alam semesta.

Sementara Dr Lies Wijayanti SW, ahli fisiologi pembungaan yang sebelum purnatugas berkarier di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),  penggawang komunitas itu, mengatakan bahwa pihaknya ingin mengasah keterampilan anggotanya yang kemudian juga mampu membangun karakter baik.

"Ini memang sangat pas jika kami terapkan kepada generasi muda. Karenanya saya saat ini intensif melakukan pendekatan kepada anak-anak muda untuk menularkan 'virus' menulis ini," katanya.

Komunitas ini sudah menelurkan setidaknya dua buku kumpulan cerita yang sejak awal memang diikhtiarkan untuk menjadi pelarut dendam dalam fasilitasi ego bagi seseorang yang merasa mengalami pahitnya kehidupan.

Buku pertama berjudul "17 Therapist Writing Tips for Happiness" dan kali ini dipilih judul pendek "Cerita Pembasuh Jiwa".

Buku ini berisi kisah 21 penulis yang awalnya menganggap masalah sebagai beban hingga akhirnya mereka mampu merasakan bahwa semuanya ada hikmah dan pesan indah yang ingin disampaikan Tuhan pada jiwa seseorang. Ketika kesadaran itu muncul lewat saluran menulis, maka jiwa yang sebelumnya penuh sesak dengan masalah tiba-tiba menjelma menjadi "segara kehidupan" yang mampu menampung apapun yang terhanyut ke dalamnya.

Buku ini dibuka dengan cerita "Menapak" karya Ade Noor, guru SMP Negeri 4 Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Cerita ini berkisah mengenai konflik batin seorang pemuda yang hanya berbekal ijazah sekolah dasar dan pendidikan pesantren, dan kemudian mencintai seorang perempuan guru, tentu berijazah sarjana. Si pemuda santri ditolak oleh orang tua si gadis yang sangat mengagungkan pendidikan formal.

Konflik berakhir ketika si santri yang lahir dan besar di wilayah transmigrasi di pedalaman Kalimantan itu menemukan tambatan hatinya di Kota Bandung, tempat ia mondok. Meskipun tidak terlalu dramatis dalam bercerita mengenai perbedaan orientasi pendidikan ini, pengakhiran cerita ini lumayan menyentak ketika si pemuda tersadar lamunan ke masa lalu dengan si gadis guru, saat perjalanan ke Bandung untuk menjalani prosesi pernikahan.

Pesan tersembunyi dari kisah ini adalah bahwa si lelaki itu tidak sedang menjunjung tinggi nilai hidup bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Buktinya terselip harapan agar anaknya kelak tidak mengalami hidup seperti dirinya.

Beralih ke cerita kedua, "Cawan Retak" karya Asri Indah Nursanti. Tulisan ini tentang kegundahan seorang anak puteri karena perceraian orang tua.

Membaca kisah dengan tokoh Arini ini lumayan mengagetkan pembaca. Dari cerita pertama bernuansa Islami dan pesantren, tiba-tiba masuk ke cerita keluarga Kristen. Ini juga menunjukkan bahwa komunitas yang berpangkal di Kota Bogor, Jawa Barat, itu plural. Ini adalah komunitas terbuka, bukan hanya lintasiman, namun juga profesi. Komunitas ini berisi pendidik, peneliti, ibu rumah tangga, seniman dan mahasiswa.

Si tokoh Arini keluar dari beban akibat perceraian papa dan mamanya dengan mengambil pelajaran bahwa tokoh mama adalah figur tangguh yang harus menjadi teladan baginya. Hanya saja, ada hal teknis yang tidak konsisten dalam penulisan cerita ini, yakni penulis yang awalnya menjadi orang lain dari tokoh Arini, tiba-tiba di tengah cerita menjadi "aku". Ah, ini hanya hal teknis dalam menulis dan tidak mengganggu penikmatan serta penggalian makna bagi pembaca.

Karya yang sangat menarik dari buku ini disuguhkan oleh Erina Charlotte, seorang ibu rumah tangga berusia 65 tahun. Dalam perbincangan via zoom dengan Antara, sebelumnya, nenek ceria ini mengaku tidak pernah berpengalaman menulis cerita. Ia baru pertama kali menuangkan ide dalam tulisan, namun karyanya luar biasa. Erina mampu mengekspresikan gagasan yang bersumber dari pengalaman pribadinya itu dengan lentur dan indah.

Ia bercerita sebagai Hana, perempuan kecil yang kalahirannya tidak diharapkan oleh si ibu. Beruntung Hana mendapatkan orang tua pengganti dari pasangan suami istri yang memang mengharapkan anak perempuan. Hana tumbuh dalam asuhan orang tua sambung yang digambarkan sebagai malaikat tak bersayap.

Masalah muncul ketika Hana diminta kembali oleh orang tua kandungnya saat ia berusia 5 tahun. Gadis yang awalnya hidup penuh ceria dan penuh kebebasan tetiba harus hidup dalam keluarga yang penuh aturan dan didikan keras. Pelakunya adalah orang tua kandungnya. Ia hidup dalam lingkungan penuh aturan yang sangat sulit dimengerti oleh hati dan rasa Hana kecil.

Hana juga harus menjadi kakak dan merawat dua adik laki-laki yang terpaut satu hingga tiga tahun dengannya. Cubitan dan pukulan sering ia terima dari mama yang mengandungnya 9 bulan. Hukuman itu meningkat dengan pukulan gagang sapu dan centong kayu dari si mama. Bukan hanya membekaskan lebam pada kulit akibat cubitan dan pukulan, tapi lebih dari itu, menanamkan luka batin tak terperi bagi Hana.

Masih beruntung, Hana mendapatkan pertolongan malaikat tak bersayap dari sosok sang papa yang sangat sayang padanya. Hanya saja, sang papa yang bekerja sebagai pelaut tidak setiap saat berada di rumah.

Watak keras si mama rupanya tidak terjadi dengan sendirinya. Si mama dulunya juga korban yang kemudian menjelma menjadi "pelaku", sekaligus "korban". Sangat mungkin si mama juga mendapat perlakuan sama dari orang tuanya, dulu. Saat menikah, si mama menjadi orang tua tunggal karena sering ditinggal suaminya dalam waktu lama untuk bekerja di kapal. Si mama melampiaskan kekesalan hidupnya kepada Hana.

Bukan hanya Hana, si papa juga menjadi korban dari watak keras si mama. Karena itu tidak jarang Hana juga menerima curahan hati (curhat) cerita si papa akibat perlakuan si mama.

Berniat menjauh dari suasana rumah yang tidak ramah, Hana kemudian meminta pada orang tuanya untuk masuk sekolah menengah atas (SMA) di Kota Yogyakarta. Meskipun awalnya tidak disetujui oleh mamanya, keinginan itu akhirnya terwujud. Meskipun demikian, kekasaran si mama tidak lantas berhenti. Ia masih bisa melampiaskan ketidaksukaan pada si anak perempuannya itu lewat surat pada Hana. "Duh, Gusti," begitu kalimat spontan dari mulut Hana remaja.

Puncaknya, suatu hari Hana mendapatkan telegram, surat singkat dan super kilat yang disediakan oleh perusahaan telekomunikasi Telkom, sebelum ada telepon seluler. Telegram merupakan bentuk komunikasi lain yang disediakan Telkom, perusahaan milik pemerintah, selain telepon kabel. Kebetulan namanya sama dengan media komunikasi yang tersedia di telepon seluler saat ini.

Telegram dari si mama meminta Hana segera pulang, menggunakan pesawat dengan penerbangan pertama ke Jakarta. Tanpa tahu apa sebabnya disuruh pulang segera, hati Hana menjadi gundah.

Tiba di rumah ia mendapati papa yang sangat menyayanginya sudah terkubur dalam perut Bumi. Lagi-lagi Hana merasakan kekerasan hati mamanya. Mengapa ia tidak diberi kesempatan untuk melihat dan mencium wajah papanya untuk terakhir kali, dengan tidak buru-buru jasad si papa dikubur. Terbanglah si malaikat tanpa sayap itu menghadap Ilahi.

Pada akhirnya, ketika luka-luka batin itu dituangkan dalam tulisan, si korban sudah mampu menjaga jarak dengan luka-luka itu dan disadarinya semua itu sebagai berkah serta wujud kasih sayang Tuhan.

Hana dewasa masih mampu merasakan kasih sayang papa dan mamanya yang kini terus mengalir beriring doa agar ampunan Tuhan kepada keduanya terus juga mengalir. Dendam itu kini larut bersama curahan cerita dalam bentuk tulisan. Selamat menikmati kasih sayang tidak bertubuh ya Erina, eh, Hana.

Kisah-kisah lain tentu masih banyak yang bisa digali dalam buku ini dari penulis lain, yakni Daniel Liunando, Endang Sri S, Hidayat Abdullah, Prastiti Handayani, Rini Pujowati, Rita Anugerah, Roro Aninta, Siska Susantrin, Sr. Marlina, CP, Sr. Rosa, CP, Argy FS, Dyah Ariani SW, Swasmi Sutanto, Yulius Agustinus Dwi Budi Susila, Dewi Rosiana, Marla Ge, Sri Wiyono
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023