Bondowoso (ANTARA) - Kehidupan yang semakin modern membawa dua sisi konsekuensi yang berseberangan. Satu sisi, modernitas membawa hidup masyarakat lebih mudah karena tersedianya berbagai fasilitas, namun di sisi lain juga berdampak pada tekanan batin, terutama ketika semakin banyak orang berlomba-lomba memenuhi kebutuhan bersifat material.

Tekanan batin bisa dari target-target pribadi dan keluarga atau dari lingkungan kerja yang juga dipenuhi dengan target yang harus dicapai. Bahkan, pencapaian itu digerakkan dengan tekanan "harus" dan "segera". Semakin lengkaplah tekanan jiwa yang dialami oleh seseorang.

Meskipun demikian, seseorang sering kali tidak menyadari bahwa dirinya telah terjebak dalam pusaran himpitan tekanan itu. Mereka justru terlena dalam kenyataan yang disebut dengan "zona nyaman". Nyaman dalam zona ini sebetulnya hanya semu karena berbasis pada pemenuhan kebutuhan fisik.

Praktisi kesehatan yang juga penulis produktif dr Hendrawan Nadesul dalam pertemuan via zoom bersama Komunitas Kusuma Putih dan para pegiat komunitas itu, yang juga diikuti ANTARA, menyampaikan bahwa boleh dikatakan 90 persen masyarakat dunia saat ini terjebak dalam "zona nyaman".

Indeks kebahagiaan di negara-negara dengan ekonomi kaya saat ini sangat rendah, karena yang dikejar dalam pemenuhan kebutuhan mereka hanya bersifat dunia atau fisikal, sementara aspek kejiwaan banyak terabaikan.

Masalah di masyarakat modern ini bukan saja terkait trauma masa lalu, tetapi karena keterjebakan dalam "zona nyaman" yang tidak segera disadari. Tekanan itu muncul, antara lain dalam bentuk persaingan, rasa iri, dengki, permusuhan, cemburu, curiga, bahkan juga serakah.

Kenyataan itu biasa disebut sebagai fenomena "treadmill hedonism". Orang yang terperangkap dalam fenomena ini tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Punya satu mobil, ingin menambah menjadi dua, punya dua rumah masih tidak puas juga. Demikian seterusnya, mereka berputar-putar dan "berlari di tempat" serta berkutat dengan ketidakpuasan.

Parahnya, hanya sedikit dari mereka yang sadar posisi dimana mereka kini berada. Sebagian besar dari mereka "terlena" dalam kungkungan energi negatif itu, sehingga tidak muncul keinginan untuk keluar dari perangkap hedonisme tersebut.

"Hanya sebagian kecil yang sadar dan mau escape (keluar) dari kurungan energi negatif itu," kata dr Hendrawan Nadesul.

Menghadapi kondisi jiwa yang seperti itu, obat-obatan sudah tidak mampu menghadirkan penyelesaian. Maka orang memerlukan metode penyembuhan jiwa yang lebih dikenal dengan sebutan "healing".

Metode healing itu juga bermacam-macam, seperti meditasi, yoga dan lain-lain.Hanya saja, untuk mengikuti metode-metode itu, seseorang harus meluangkan banyak waktu, termasuk biaya.

Salah satu metode sederhana, praktis dan murah dalam upaya membuang sampah-sampah batin yang telah mengendap itu adalah menulis. Ya, "hanya menulis". Menulis menjadi sarana katarsis yang mampu menumpahkan energi-energi negatif di dalam diri.

"Syaratnya, menulis yang ekspresif. Tumpahkan dan muntahkan saja apa yang ada di dalam diri," kata Hendrawan, yang juga dikenal sebagai penyair dan penulis buku ini.

Bagi mereka yang sudah mengenyam pendidikan formal dan terampil dalam aspek baca tulis, menulis untuk terapi itu tidak memerlukan syarat teknis mengenai karya tulis. Seperti apapun kualitas tulisan, kalau diniatkan untuk sarana terapi, itu tidak menjadi masalah.

Menulis untuk menumpahkan emosi itu ibarat kita berkomunikasi atau mercurahkan (curhat) isi hati dengan kertas atau layar laptop. Bisa juga di layar telepon seluler pintar.

Kelebihan curhat lewat tulisan ini adalah, tidak ada penghakiman atas masalah yang kita tumpahkan dan tidak ada kekhawatiran rahasia hidup kita akan tersebar pada orang lain. Kecuali, ketika kita sudah merasa "plong" dengan rahasia masalah itu kemudian siap untuk dipublikasikan, baik lewat media massa, media sosial, bahkan buku.

Keberanian mengumumkan hasil curhat lewat tulisan ini sudah dicontohkan oleh 17 orang yang tergabung dalam Komunitas Kusuma Putih dengan aktivitas menulis untuk terapi dengan menerbitkan buku "17 Therapist: Writing tips for Happiness Healing Therapy". Komunitas ini dimotori oleh penulis dan penggerak Literasi Hijau Naning Pranoto didukung oleh dr Hendrawan Nadesul dan Shinta Miranda.

Ke-17 penulis itu telah merasakan manfaat dari dari terapi menulis untuk kesehatan jiwa dan kini sudah berani menampilkan diri ke khalayak mengenai apa yang selama ini mengganjal jiwanya dan sebagian terjebak dalam kondisi kurang percaya diri. Mereka adalah, Asri (pendidik), Yulius Budi Susila, Endang Sri, Siska, Suster Pasioni Srora, Daniel Liunando, Anastasia Rini Pujowati, Suster Anastasia Marlina, Erina Carlotte, Elvia Pasila dan Dr Listyani ijayanti.

Naning Pranoto yang juga pengampu pada kegiatan pelatihan "menulis kreatif" menyatakan bahwa dirinya tidak akan pernah lelah untuk memberikan pencerahan bagi banyak orang lewat pena.

Tentu saja, untuk mencerahkan orang lain, seseorang harus lepas dari keterbelengguan jiwa dan "selesai" dengan dirinya. Semakin banyak orang yang tercerahkan, maka akan semakin banyak orang yang bersedia orang lain untuk tercerahkan hingga menuju hidup yang bahagia dan lebih produktif.

Dengan membersihkan jiwa dari tumpukan sampah-sampah emosi itu, hidup akan menjadi lebih bahagia dan produktivitas serta kebermanfaatan diri untuk lebih banyak orang akan lebih tinggi. Pada akhirnya mereka juga akan melahirkan generasi-generasi penerus berkualitas jiwa dan raga yang baik dan hidup berlimpah dengan kebahagiaan.

Pengalaman mereka

Para anggota Komunitas Kusuma Putih itu telah merasakan manfaat menulis untuk terapi.   Asri yang berprofesi sebagai guru misalnya, dia bahkan bisa membantu murid-muridnya yang terindikasi mengalami masalah, kemudian diajak untuk merefleksi diri lewat tulisan. Pada akhirnya, dengan pendampingan murid-muridnya itu menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi.

Awalnya, Asri merasa tergugah melihat berbagai tingkah muridnya ketika jam istirahat. Ada yang menyendiri, terlihat sedih, ada juga yang begitu menikmati aktivitas mengejar-ngejar kucing hingga berputar-putar di tiang bendera halaman sekolah.

Sedangkan Yulius Budi Susila, bermula merasa kagum dengan orang-orang yang mampu menceritakan keadaan dirinya lewat tulisan. Maka ia masuk dalam komunitas asuhan Naning Pranoto, dan kemudian ia merasakan manfaat dari kegiatan menulis untuk penyembuhan atas luka-luka batinnya.

Bagi Endang Sri yang seorang guru, ia mengaku banyak menemukan guru lain yang terkungkung dalam masalah ketidakpercayaan diri. Dengan kemampuan Endang menulis, kemudian ia mengajak guru-guru lain untuk menemukan potensi diri dengan menulis. Dengan mengenali kemampuan itu, maka si guru dapat menularkan potensi dirinya kepada para siswa.

Berbeda dengan Endang Sri, Siska menggeluti aktivitas menulis berangkat dari luka batin ketika ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya, seperti ibu dan suami. Ia kemudian menumpahkan kegundahan merasa ditinggal itu dengan menulis. Dengan demikian, ia tidak terkungkung dalam kesedihan panjang dan menemukan kebahagiaan hidup sehingga lebih bermakna.

Sementara Suster Pasiona Sroda, guru dari pedalaman Kalimantan mengaku lebih bersemangat untuk terus mengasah kemampuan menulisnya, setelah bergabung dengan komunitas Naning Pranoto. Lewat menulis ia merasakan jiwanya menjadi terbebas dari beban. Dengan menulis ia bisa membantu dan berbagi pengalaman dengan banyak orang.

Menuangkan ide dan relaksasi

Anggota Komunitas Kusuma Putih lainnya, Daniel Liunando, menyatakan bahwa dengan menulis ia mampu menuangkan ide-idenya yang selama ini terpendam, dan pada akhirnya pikiran serta jiwanya menjadi lega.

Tapi, bagi Suster Theresia yang tinggal di lereng Merapi, Yogyakarta, mengaku bahwa menulis baginya menjadi sarana relaksasi. Dengan relaks itu, maka ia sekaligus melakukan healing lewat menulis.

Sedangkan Anastasia Rini Pujowati yang merupakan guru musik juga menemukan rasa lega dan bahagia setelah menumpahkan ide-idenya lewat menulis. Berbeda lagi dengan Suster Anastasia Marlina yang mengaku mengenal siapa dirinya lewat kegiatan menulis. Lewat menulis, ia menemukan kelebihan dan kekurangan diri.

Menulis bagi Erina Carlotte, perempuan yang hobi menyanyi ini bahwa kegiatan ini dapat terus dilakukan seseorang tanpa mengenal batasan usia,      berbeda dengan keterampilan menyanyi yang  pasti dibatasi oleh usia. Baginya, menulis menemukan kebahagiaan.

Guru dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Elvira Pasila, juga memiliki pengalaman. Keterampilan menulis sangat membantu menemukan potensi diri. Ia kemudian bisa membagikan keterampilan menulis itu pada murid-muridnya.

Sementara itu, Dr Listyani Wijayanti, ilmuwan dan pernah menjabat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengemukakan bahwa menulis menjadi sarana untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Ia lakukan kegiatan menulis puisi itu sejak masa kuliah hingga bekerja dengan tumpukan tugas yang banyak. Bahkan hingga kini sudah pensiun, ia masih terus menulis.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022