Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, pada bulan suci Ramadhan, selalu terjadi kekerasan yang dilakukan aparat Israel di Mesjid Al Aqsa.

Tahun lalu, 300-an warga Palestina ditahan dan sedikitnya 170 terluka setelah Israel menyerbu salah satu dari tiga tempat suci umat Islam, selain Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi itu.

Tahun lalu itu, untuk pertama kali dalam 30 tahun terakhir, Ramadhan datang bersamaan dengan Paskah Yahudi, selain pekan Paskah umat Kristen.

Situasi ini terulang tahun ini yang akibatnya membuat Kota Tua Yerusalem di mana tempat-tempat suci ketiga agama berada, dibanjiri pengunjung. Bahkan pada Jumat kedua bulan Ramadhan ini, 250 ribu orang menunaikan Shalat Jumat di mesjid itu.

Tumplaknya ratusan ribu manusia itu di satu sisi mendatangkan kebaikan secara ekonomi, tapi di sisi lain memercikkan gesekan, apalagi beberapa bulan sebelumnya, Palestina dan Israel berkonflik soal permukiman Yahudi di bagian Tepi Barat yang dicaplok Israel.

Warga Palestina khawatir ini hanya permulaan karena insiden lebih besar lagi bisa saja terjadi, terutama jika kaum ekstremis Yahudi mendatangi Al Aqsa.

Pengelola Masjid Al Aqsa mengkhawatirkan konfrontasi lebih besar, apalagi jika pemerintah Israel yang saat ini dikuasai kaum ultra kanan, melanggar tabu dengan membolehkan kaum ekstremis Yahudi beribadat di kompleks Al Aqsa ketika warga Muslim tengah aktif beribadah selama Ramadhan.

Palestina juga khawatir tokoh-tokoh garis keras Israel, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir memprovokasi peristiwa lebih besar, dengan mengunjungi kompleks Al Aqsa.

"Kami khawatir kaum ekstremis Yahudi berusaha mengubah status quo," kata Dr Mustafa Abu Sway dari Dewan Wakaf Islam di Yerusalem.

Status quo yang dia maksud adalah keadaan di mana hanya Muslim yang boleh beribadah di kompleks Al Aqsa, sedangkan non-Muslim hanya boleh berwisata atau berkunjung biasa.

Saat paling genting adalah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ketika umat Islam mendatangi Al Aqsa dalam jumlah besar sampai pagi, demi malam mendapatkan keutamaan lailatulqadar.

"Biasanya Israel menghalangi kaum ekstremis Yahudi agar tidak memasuki kompleks Al Aqsa selama 10 hari terakhir itu. Tetapi karena pemerintahan mereka saat ini berbeda, kami khawatir mereka membolehkan masuk kaum ekstremis," kata Abu Sway seperti dikutip BBC.


Bom waktu demografis

Jumlah ekstremis Yahudi ini sendiri semakin banyak seiring dengan kecenderungan kian kanan dalam politik di Israel. Mereka semakin berani karena pemerintahan Israel saat ini dikuasai koalisi kanan jauh pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Berbeda dari negara-negara maju pada umumnya di mana kaum muda cenderung lebih liberal, kaum muda Israel malah cenderung ke kanan.

Riset yang dibuat Israel Democracy Institute pada 2022 menunjukkan 60 persen warga Yahudi di Israel mengidentifikasi dirinya sebagai sayap kanan. Padahal pada April 2019, angka itu baru 46 persen saja.

Angka itu lebih besar lagi di kalangan kaum muda berusia 18-24 tahun, mencapai 70 persen.

Tingginya angka pendukung kaum kanan ini terjadi karena dipicu kekerasan di Gaza tahun lalu. Sikap keras Hamas di satu sisi turut mengeraskan sikap kelompok kanan dan kaum ekstremis Yahudi.

Kecenderungan kanan warga Yahudi juga diakibatkan oleh keluarga-keluarga Yahudi, terutama kelompok ortodoks yang lebih suka memilih politisi-politisi konservatif. Faktor lain adalah polarisasi Israel dan Palestina yang semakin dalam.

Anak-anak muda Yahudi yang lebih tidak toleran ini lahir dari ibu-ibu yang dianjurkan Israel agar beranak banyak dan dari generasi yang tak berinteraksi luas dengan warga non-Yahudi, sehingga pandangan mereka terhadap Palestina pun lebih buruk dibandingkan kelompok usia lainnya.

Mereka khawatir penduduk Yahudi lambat laun menjadi minoritas di Israel, apalagi populasi Palestina terus bertambah. Ini tak termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza yang bukan wilayah Israel dan hampir seluruhnya berpenduduk Arab Palestina.

Bagi Palestina sendiri, demografi menjadi senjata tersendiri. Mendiang pemimpin besar Palestina, Yasser Arafat, pernah mengatakan "rahim wanita Arab adalah senjata terhebat saya".

Ternyata, generasi politisi Israel kemudian, terprovokasi pandangan Arafat ini. Mereka menganggap hal itu sebagai "bom waktu demografis" yang mengancam eksistensi dan integritas Israel.

Ini membuat Israel mendorong wanita Yahudi agar memiliki anak yang banyak. Tak heran tingkat kelahiran di Israel menjadi yang tertinggi di antara negara-negara maju dalam OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dan bahkan pernah lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran warga Arab di Israel.

Pemerintah Israel juga menerapkan kebijakan imigrasi yang menarik warga Yahudi seluruh dunia agar pindah ke sana.

Biro Pusat Statistik Israel sendiri pada akhir 2021 menyebutkan sekitar 9,4 juta orang hidup di Israel, termasuk daerah permukiman Yahudi di bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.

Dari jumlah itu, 6,9 juta (74 persen) di antaranya adalah Yahudi, 1,9 juta lainnya (21 persen) etnis Arab, sedangkan sisanya dari etnis-etnis lain. Warga Arab Palestina di Israel berbeda dari rekannya di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka termasuk warga Israel.

Sementara, Biro Statistik Palestina menyebutkan 3 juta orang mendiami Tepi Barat Palestina dan 2 juta tinggal di Jalur Gaza.

Jika digabung, maka total warga Arab Palestina yang hidup, baik di wilayah Israel maupun Tepi Barat dan Jalur Gaza, sama banyaknya dengan jumlah warga Yahudi.

Sejumlah pakar kependudukan di Israel sendiri menyebutkan bahwa sekalipun tingkat kelahiran warga Yahudi tinggi, tingkat kematian Yahudi pun sama tingginya. Artinya, tingkat pertambahan penduduk warga Arab yang rata-rata lebih muda, berlangsung lebih cepat.

Fakta-fakta itu mengkhawatirkan kaum ortodoks dan politisi-politisi kanan Israel, apalagi pada 2065 Israel diprediksi menjadi negara paling padat di dunia dengan penduduk 35 juta orang.


Siklus kekerasan

Generasi baru Yahudi pun dicekoki oleh ancaman populasi Arab. Mereka bahkan menjadi cenderung lebih eksklusif dibandingkan dengan generasi-generasi sebelum mereka.

Jajak pendapat Jewish People Policy Institute pada awal Mei 2022 memperlihatkan fakta baru bahwa kaum kanan Yahudi menyatakan enggan hidup berdampingan dengan warga Arab di Israel.

Berbeda dengan kaum liberal Yahudi yang optimistis bagi terwujudnya ide dua negara di mana Negara Palestina hidup berdampingan dengan Israel, kaum kanan justru pesimistis terhadap gagasan di mana Palestina dan Arab menginginkan negara dengan perbatasan sebelum dicaplok Israel menyusul Perang 1967.

Tingkah laku kaum kanan pun semakin agresif, yang salah satunya mereka tumpahkan di Al Aqsa.

Mereka semakin getol mendorong pemerintahnya membangun Temple of Mount di tanah tempat berdirinya Al Aqsa, karena bagi mereka ini menyangkut muasal mereka yang bersumber dari agama dan kitab suci mereka.

Namun, saat yang sama, warga Arab Palestina, juga Muslim seluruh dunia, tak akan pernah mau melepaskan Al Aqsa. Dasarnya pun sama, yakni alasan kitabiah yang berkaitan dengan iman dan tauhid.

Dalam kata lain, bagi umat Islam, mempertahankan Mesjid Al Aqsa adalah bagian integral dari keimanan. Ini batas yang tak bisa dilanggar siapa pun.

Tak heran ketika Rabu pekan ini aparat keamanan Israel menyerbu Al Aqsa, tokoh-tokoh Muslim seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut tindakan Israel itu sudah melewati garis merah, alias melanggar tabu.

Namun demikian, siklus kekerasan sepertinya bakal terus terjadi, bukan saja sampai dua tahun ke depan Ramadhan akan jatuh bertepatan dengan Paskah Yahudi, juga karena atmosfer politik di Israel yang semakin jauh ke kanan.

Salah satu sifat kaum kanan adalah perasaan terancam oleh populasi yang mulai tak seimbang di mana mayoritas perlahan tak lagi menjadi mayoritas. Kecenderungan ini sepertinya tengah terjadi pula di Israel.

Di sisi lain, bangkitnya kanan jauh di Israel membuktikan ucapan Yasser Arafat bahwa 'rahim wanita Arab adalah senjata terampuh Palestina', ada benarnya.

 

Copyright © ANTARA 2023