Tokyo (ANTARA) - Yuichi Tomita, seorang sopir truk, sudah menjalankan tugasnya selama puluhan tahun mengantarkan barang ke seluruh Jepang, dan tidak jarang sampai 40 jam tanpa jeda berada di jalanan.

Meski pekerjaan tersebut berat, Tomita mengaku bangga dan sampai saat ini, tidak pernah terpikir untuk berhenti menggeluti profesi tersebut.

Sementara itu mulai 1 April 2024, pemerintah Jepang akan membatasi jam lembur sopir truk menjadi 960 jam setahun, salah satu kebijakan yang menurut pejabat dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi kerja yang dikenal melelahkan. 

Pembatasan juga disebutkan agar profesi tersebut menjadi lebih menarik.

Namun, sopir-sopir truk seperti Tomita berpendapat bahwa kebijakan pemerintah tersebut justru menyebabkan profesi itu ditinggalkan orang-orang --yang kebanyakan memerlukan jam kerja lebih panjang agar bisa membiayai berbagai kebutuhan hidup.

Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran kalangan yang bergerak di bidang eceran dan logistik, yang mereka sebut dengan istilah "krisis 2024": yaitu kekurangan jumlah sopir truk. 

Jika tidak segera diatasi, krisis tersebut menurut perkiraan pemerintah bisa menyebabkan sepertiga dari total kargo tidak akan terangkut dan berpotensi menimbulkan kerugian 76 miliar dolar AS (sekitar Rp1.146 triliun) pada 2030.

"Saya sudah menekuni pekerjaan ini selama 20 tahun dan bahkan belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar sekalipun," keluh Tomita, sopir truk generasi kedua dalam keluarganya serta ayah seorang anak berusia tiga tahun.

"Saya kira krisis sopir truk ini akan mengancam ekonomi Jepang dan juga keluarga seperti kami," katanya.

Sopir truk di Jepang rata-rata memperoleh gaji sebesar 34.000 dolar AS setahun (setara Rp507.349.700) atau Rp42 juta per bulan.

Namun, jumlah tersebut masih 10 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata mereka yang bekerja di sektor industri meski jam kerja 20 persen lebih lama.

Penurunan jumlah sopir truk diperkirakan akan menimbulkan efek domino terhadap petani, pedagang, dan pelanggan restoran yang memerlukan pengantaran ikan segar dan produk kering.

Jasa konsultasi global Roland Berger memperkirakan bahwa kebijakan pemerintah Jepang tersebut akan mengurangi jumlah sopir truk sebanyak 20 persen pada 2030 mendatang.

"Masyarakat di Tokyo tidak bisa lagi mendapatkan sayur atau ikan segar dari Kyushu (selatan Jepang) dan wilayah yang jauh lainnya," kata Masashi Onozuka, mitra dari Roland Berger yang melakukan penelitian terhadap sistem logistik pemerintah.

Tenaga diperas

Sekitar 98 persen dari total 62.000 perusahaan truk yang bertanggung jawab terhadap pengiriman kargo ke seluruh negeri adalah perusahaan kecil.

Persaingan yang ketat di antara mereka, serta harga bahan bakar yang tinggi, membuat tenaga sopir truk seperti diperas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaga pemerintah, perusahaan truk hanya mampu menanggung 19 persen kenaikan biaya, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 47 persen pada perusahaan skala kecil dan menengah.

Sebagai akibat dari kesulitan yang dihadapi perusahaan truk kecil, Komisi Perdagangan pada Desember lalu mengumumkan 13 perusahaan yang menyalahkan gunakan posisi tawar yang lebih kuat untuk menolak kenaikan tarif yang diminta pemasok dan kontraktor kecil.

Dari nama-nama yang diumumkan tersebut, enam di antaranya merupakan perusahaan logistik dan jasa pengiriman besar, termasuk Trancom dan Sagawa Express. Kedua perusahaan tersebut berjanji untuk melakukan perbaikan..

Perdana Menteri Fumio Kishida pada Maret menginstruksikan jajarannya untuk mengatasi masalah tersebut "secara drastis" mulai Juni tahun ini untuk mengatasi krisis.

Salah satunya adalah menyiapkan jalur khusus bagi truk di jalan raya sepanjang 100 km yang menghubungkan Tokyo dengan Nagoya serta rute penerbangan untuk wahana tanpa awak (drone).

Sebagian kalangan pedagang eceran juga sudah menyiapkan rencana untuk mengatasi masalah tersebut.

Toko serba ada Lawson akan mengurangi jumlah pengiriman kotak makan siang menjadi dua kali sehari dari sebelumnya tiga kali bagi semua cabang mereka mulai April 2024.

Jaringan pasar swalayan Summit, Maruetsu, Yaoko, dan Life Corp sepakat untuk menambah hari pengiriman serta mengurangi pengiriman pada malam hari.

Namun demikian, banyak perusahaan lain yang mengakui belum punya rencana untuk mengatasi masalah tersebut.

Petani dan pedagang grosir ikan dari Kyushu sampai daerah paling utara di Pulau Hokkaido mengaku khawatir dengan kelangsungan usaha dan kondisi ekonomi setempat jika tidak cukup sopir truk.

Masaaki Iwamori,  pegawai Koperasi Nelayan Ehime di Pulau Shikoku, mengatakan Kota Uwajima akan mengalami kerugian besar kalau truk-truk tidak tersedia untuk mengantar ikan kuwe batu (amberjack).

Pengiriman itu biasanya dimulai pukul 02.00 waktu setempat ke pasar ikan utama di Tokyo yang memakan waktu 12 jam.

"Jika ikan tersebut tidak tersedia pada waktunya, ikan sudah tidak segar lagi dan jika dilelang keesokan harinya, akan dijual murah," katanya.

Sumber: Reuters 

Baca juga: Jepang andalkan tenaga nuklir tangani krisis energi

Baca juga: Hampir 70 persen perusahaan Jepang terkena dampak dari krisis Ukraina


 

Kappabashi, surga belanja perabot dapur di Jepang

Penerjemah: Atman Ahdiat
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023