Hari Sabtu yang panas di Jatitujuh, Majalengka. Para penari yang cantik mengabaikan matahari yang sedang terik-teriknya.

Seribu pekerja dari 11 pabrik gula di lingkungan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) sedang berkumpul di situ. Mereka mengadakan syukuran. Musim giling tahun 2012 sudah selesai. Hasilnya: top markotop.

Mereka bertepuk tangan tidak habis-habisnya ketika diumumkan seluruh karyawan akan mendapatkan jasa produksi sampai enam kali gaji. Ini tahun pertama karyawan menikmati bonus sebesar itu setelah lebih enam tahun tidak pernah lagi merasakannya. 

Pabrik gula di lingkungan PT PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Grup, memang sudah lama merugi dan merugi. Berbagai jalan keluar sudah diusahakan tapi gagal dan gagal.

Kambing hitam pun dicari. Tidak jauh-jauh mencarinya. Kambing hitam itu ada di dalam pabrik. Mesin-mesin pabrik gula yang sudah tua dijadikan tertuduh tunggal. 

Kata mereka: Kalau tidak ada penggantian mesin, kalau tidak dibangun pabrik baru, kalau tidak dilakukan revitalisasi, mustahil pabrik-pabrik gula itu bisa keluar dari kesulitan.

Kepada saya pun dikemukakan hal-hal seperti itu. Bahkan ketika saya dikerubungi karyawan dan para petani tebu di Cirebon sembilan bulan lalu, saya seperti setengah dipaksa untuk melakukan revitalisasi pabrik gula di sana. Saya bergeming. Saya tidak mau melakukannya. 

Saya melihat bukan di situ persoalannya. Melakukan revitalisasi memang penting, tapi tidak sekarang. Revitalisasi memerlukan dana yang amat besar: satu pabrik bisa Rp 2 triliun.

Waktunya pun bisa dua tahun. Kalau revitalisasi yang dipilih maka perbaikan produksi gula baru bisa dilakukan tiga tahun lagi. Itu pun kalau uangnya ada.

Padahal kita perlu meningkatkan produksi gula sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib karyawan sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib petani tebu sekarang juga. 

Revitalisasi pabrik gula memang ideal, tapi bisa-bisa hanya indah untuk dibicarakan namun sulit dilaksanakan.

Memperbaiki manajemen jauh lebih cepat. Maka perombakan manajemen di PT RNI dilakukan secara drastis. Rasanya di PT RNI-lah perombakan manajemen paling drastis dilakukan setahun yang lalu. Lebih drastis dibanding di BUMN mana pun. Ismed Hasan Putro, komisaris di RNI, diangkat jadi direktur utama. 

Semula memang agak heboh-heboh. Serangan paling keras adalah Ismed dinilai sebagai teman baiknya Menteri BUMN.

Ketika nama Ismed diusulkan untuk menjadi Dirut RNI saya sendiri sebenarnya agak ragu: bisakah Ismed menjadi dirut yang baik. Jangan-jangan dia hanya pandai demo. Saya tahu dia tukang demo atau tukang memprakarsai demo. Jangan-jangan Ismed hanya pandai berteriak-teriak di jalan. Jangan-jangan dia hanya pandai mengkritik. Jangan-jangan dia hanya anti korupsi ketika sedang melakukan demo, tapi ikut korupsi ketika memegang kekuasaan.

Saya memang kenal dia. Apalagi kalau akhir bulan Ramadan. Hampir setiap tahun (ketika belum jadi orang pemerintah) saya selalu menghabiskan sembilan hari terakhir bulan puasa di Mekah bersama dia. 

Saya ragu apakah badannya yang kecil bisa memikul tugas yang besar. Apalagi budaya perusahaan di RNI sudah begitu buruknya. 

Maka saya timbang-timbang baik-buruknya. Lalu saya setujui: Ismed, si tukang demo yang pemberani itu, jadi Direktur Utama PT RNI. Toh selama itu dia sudah menjadi komisaris RNI. Dia sudah tahu banyak penyakit yang ada di dalamnya. Dia sudah lama geregetan dengan kondisi RNI selama dia jadi komisaris di situ. Dia memiliki dendam yang membara untuk memperbaikinya.

Selama dia menjalankan tugas sebagai direktur utama, saya pun selalu was-was. Kalau dia sampai gagal saya pun akan terseret. Maka saya ikuti dari jauh gerak-geriknya.

Saya sedikit lega ketika dia mengambil sikap yang egaliter: tidak mau tidur di hotel selama melakukan kunjungan ke pabrik-pabrik gula dan ke anak-anak perusahaan RNI. Dia hampir selalu tidur di mess perusahaan di lingkungan pabrik. Dia juga tidak minta mobil baru sebagai mobil dinasnya. 

Dia pun seperti kipas angin: muter terus tidak henti-hentinya. Dari satu pabrik ke pabrik lain. Dari satu siang ke malam yang lain. Tidak sempat lagi melakukan demo atau mengorganisasikan demo.

Saya amati dia juga keras melakukan pembersihan. Praktik-praktik kotor di pabrik gula dan di ladang tebu dia berantas. Orang-orang yang mau bekerja keras dan tidak korup dia naikkan pangkat dan jabatannya. Hasilnya nyata: produksi meningkat, efisiensi naik dan laba pun melonjak. Kalau tahun lalu perusahaan ini rugi di atas Rp 100 miliar, dalam sekejap bisa laba lebih Rp 300 miliar.

Yang dia lakukan adalah kerja, kerja, kerja. Tidak ada revitalisasi. Tidak ada pembelian mesin baru. Tidak ada peralatan baru. Yang dia lakukan adalah pembenahan manusianya. Manusia tetap sentral dari segala persoalan. Manusia tetaplah sentral dari segala perbaikan.

Tanpa perbaikan manajemen dan tanpa perbaikan manusia, mesin hanyalah binatang yang tidak bernyawa. Seandainya dilakukan revitalisasi mesin pun belum tentu ada gunanya. 

Tanpa dilakukan perbaikan manusianya, mesin baru pun akan tiba-tiba menjadi tidak berguna. Sebuah investasi yang sia-sia.

“Kasus” Ismed ini mengingatkan saya pada peristiwa 30 tahun yang lalu. Waktu itu saya sudah menjadi CEO Grup Jawa Pos. Suatu malam, seorang bapak datang menemui saya. Dia adalah guru nahwu-sorof (tata bahasa Arab) saya waktu di Madrasah Aliyah di Takeran, Magetan.

Sang bapak dengan penuh ketakutan curhat mengenai anak laki-lakinya yang hari itu diwisuda sebagai sarjana elektro Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Mestinya dia bahagia karena anaknya lulus cum laude dari Fakultas Teknik yang begitu sulit. Tapi sang bapak menderita batin. “Besok, kalau anak saya pulang, saya pasti ditangkap Koramil,” katanya.

Dia tidak ingin anaknya pulang. Sang anak adalah seorang ekstremis gerakan bawah tanah di kalangan mahasiswa UGM. Dia juga aktivis di masjid kampus. Namanya Misbahul Huda.

Kebetulan saya memerlukan seorang sarjana elektro, untuk menangani mesin-mesin baru yang mahal. “Besok anak bapak bawa ke mari saja. Biar mengekstremi mesin,” kata saya sambil bercanda.

Sekian tahun kemudian, ekstremis tersebut menjadi manajer yang andal. Prestasinya terus meroket. Jabatannya pun terus menanjak. Sekarang dia menjadi direktur utama berbagai perusahaan di grup itu.

Tentu banyak juga aktivis yang lupa diri: dulunya anti kemapanan tapi menjadi sangat mapan ketika menduduki jabatan. Dulunya anti korupsi tapi ikut-ikutan korupsi. Dulunya anti birokrasi ternyata jadi birokrat yang ampun-ampun birokratiknya.

Tidak ayal kalau belakangan sering muncul ejekan “seseorang itu anti korupsi atau tidak tergantung apakah dia sudah mendapat kesempatan atau belum”.

Ismed baru setahun menduduki jabatan Dirut RNI. Dia masih belum teruji untuk jangka panjang. Kemarin-kemarin dia masuk ke RNI dalam keadaan perusahaan tidak punya uang. Kini dia berada di puncak jabatan sebuah grup perusahaan yang sudah mulai punya kekayaan. Ujian yang sebenarnya berada di depannya. 

Maka ketika juri Anugerah BUMN 2012 menominasikannya sebagai salah satu CEO terbaik, saya katakan jangan sekarang, tunggu tahun depan.

Apa langkah RNI ke depan?

Tentu perbaikan pabrik gula masih jauh dari sempurna. Para kepala bagian umum yang Sabtu lalu naik panggung di Jatitujuh bertekad tahun depan ini adalah lahan jihadnya.

Prestasi pabrik-pabrik gula itu memang sudah baik, tapi lingkungan kerjanya masih buruk: tanaman dan taman-tamannya tidak tertata, lantai pabriknya kotor dan tidak rata, mesin-mesinnya masih belum mengilap, dan di sana-sini berserakan onderdil-onderdil tua yang tidak tertata.

Saya juga memuji rencana restrukturisasi Grup RNI. Anak-anak perusahaan yang tidak relevan lagi sebaiknya dibubarkan atau dilepas. Regrouping bidang usaha juga merupakan ide yang baik. 

Ismed juga bertekad membantu meningkatkan produksi daging sapi nasional dengan cara yang realistis. Kalau di Sumatera dilakukan program sapi-sawit, di RNI dilakukan program sapi-tebu. Sabtu lalu saya juga meninjau sebagian percobaan sapinya yang 3.000 ekor di seluruh RNI.

PG Jatitujuh sendiri tahun lalu masih berstatus “dhuafa”. Tahun ini sudah terangkat dari status fakir-miskin itu. Tetangga dekatnya, PG Tersana Baru, tahun lalu bukan hanya masih dhuafa tapi juga masih berstatus pasien UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu. Baru-baru ini UKP4 sudah mencabut surat pengawasannya. 

PG Candi Baru di Sidoarjo menyatakan dirinya sebagai pabrik yang produksinya terbaik sejak zaman kemerdekaan.

Yang juga melegakan, cap buruk bahwa PG BUMN selalu kalah dari swasta, sekarang harus dihapus. PG Krebet Baru Malang, kini menghasilkan rendemen 9,2. Inilah rendemen tertinggi di seluruh Jawa.

Terbukti PG Krebet Baru tidak hanya bisa jadi juara di lingkungan pabrik gula BUMN yang berjumlah 52 itu, tapi juga sudah bisa mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya.

RNI kelihatannya akan terus berkibar tinggi!

Oleh Dahlan Iskan
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012