Jakarta (ANTARA) - Kala Ramadhan memasuki 21 hari, itu berarti anggota jamaah umrah sudah harus bersiap ikut pelaksanaan iktikaf di Masjidil Haram.

Antusias jamaah umrah untuk ikut iktikaf sangat tinggi. Karena itu anggota jamaah umrah harus berangkat menjelang Shalat Ashar ke Masjidil Haram. Itu berarti yang bersangkutan tidak bisa buka puasa di hotel.

Mengapa harus berangkat lebih awal sebelum Ashar?
Itu karena Masjidil Haram penuh sesak. Jika datang terlambat, tidak akan kebagian tempat. Kalaupun mendapat tempat, bukan berarti anggota jamaah bisa shalat dalam keadaan "aman".

Aman dalam pengertian ia bisa sesuka hati berdoa dan shalat di tempatnya dengan nyaman. Sebab, aturan di masjid berubah cepat, di tempat yang telah dipilih bisa diusir asykar karena dinilai mengganggu jamaah dari berbagai negara itu.

Jadi, anggota jamaah umrah harus berjuang apabila ingin iktikaf. Ia berjuang mendapatkan tempat yang  terbebas dari kemungkinan diusir oleh askar.

Sering ditemui, tempat yang sudah disediakan dengan ditandai karpet terpasang oleh pengelola masjid, sewaktu-waktu bisa dialihkan ke tempat lain, dengan alasan dibersihkan segera.

Nah, ketika tempat sudah diambil alih di bawah pengawasan petugas, tak ada pilihan lain bagi anggota jamaah, kecuali harus berjuang mencari tempat baru. Itu pun sangat mungkin tidak mendapat tempat nyaman karena beberapa pintu masuk ditutup petugas. Karena itu jamaah harus mencari jalan lain.

Itulah mengapa anggota jamaah umrah harus datang lebih awal untuk bisa mengikut iktikaf di Masjidil Haram.

Kesulitan belum selesai di situ. Bagi anggota jamaah umrah yang kebetulan harus menggunakan bus, setiap saat pulang dan pergi harus all out berebut masuk bus yang disiapkan pemerintah.

Seperti warga Jakarta tempo dulu, pada tahun 1970-an berdesakan berebut naik bus. Bedanya, di Tanah Suci ini warga Indonesia bersaing dengan warga berbadan kekar dan besar.

Iktikaf dimulai sekitar jam 24:30 atau setengah satu malam lebih.

Sementara itu buka puasa di masjid dengan makanan seadanya. Kalau lagi beruntung dapat pembagian minuman air kemasan, roti, dan kurma.

Kadang cuma mendapat air zamzam dan lima butir kurma. Di beberapa titik keramaian ada rebutan makanan. Bagi orang Indonesia berbadan kecil, tentu akan kalah saing.

Larangan

Beruntung jarak waktu antara Maghrib dan Isya sekitar dua jam, sehingga jamaah bisa mengisi waktu untuk mencari makan sebagai persiapan ikut iktikaf.

Kendalanya, mencari makanan itu tidak mudah, sebab para penjual makanan, seperti di kawasan Hotel Zamzam harganya mahal bagi orang Indonesia. Itu pun harus berebutan. Alternatifnya bisa membeli di kawasan yang agak jauh, tetapi dengan risiko kelelahan di jalan karena berdesakan.

Iktikaf di Masjidil Haram berbeda dengan di Indonesia. Di Tanah Air, kita bisa membawa makanan berupa nasi dan lauk pauk. Bahkan, ada yang membawa peralatan tidur dan mengorganisirnya dengan membagikan nasi kotak untuk santap sahur.

Di Masjidil Haram, tidak demikian. Pihak otoritas setempat melarang anggota jamaah umrah ikut iktikaf membawa menu berupa nasi dengan lauknya, seperti ikan.

Iktikaf di Masjidil Haram jangan dimaknai seperti berdiam diri berlama-lama di masjid. Waktunya singkat. Karena itu, waktu yang minim harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, diisi dengan berzikir, membaca Al Quran, dan berdoa.

Jangan mempersulit diri ketika ikut iktikaf di Masjidil Haram seperti membawa tas ransel. Petugas akan memeriksa. Kadang, barang yang dalam tas itu diubek-ubek untuk memastikan tidak membawa makanan dan barang terlarang.

Shalat qiyamul lail atau shalat malam, dimulai setelah jam 24.00. Jumlah rakaat 10 plus satu witir. Sekitar 02.00 waktu setempat, qiyamul lail berakhir.

Setelah itu, untuk turun atau keluar dari masjid, jamaah biasa berebutan lewat eskalator dan selanjutnya berjuang mendapatkan bus yang mengantar ke hotel masing-masing. Jika tidak memperhatikan jalan yang pernah dilalui, dapat dipastikan akan tersesat.

Jangan paksakan ketika fisik tidak prima. Itu bakal menyulitkan orang sekitar, seperti terjatuh di tempat wudhu atau terhuyung-huyung ketika melaksanakan shalat yang tiap rakaatnya berdurasi panjang. Maklum, surat yang dibaca terasa enak dan panjang.

Saat Ramadhan, aktivitas di Masjidil Haram tidak kalah dengan musim haji. Lantas, bagaimana pahala orang yang iktikaf itu di Tanah Suci Mekkah Al Mukaromah?

Iktikaf punya nilai tinggi. Keutamaan pahalanya besar, juga sebagai ajang introspeksi. Bukan sekadar minta ampunan kepada Allah, tetapi lebih dari itu, mengakui keesaan Allah, sekaligus melepaskan kerinduan.

Sejatinya iktikaf itu berdiam diri. Dalam pengertian syariah agama, iktikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada Ramadhan.

Lebih dikhususkan 10 hari terakhir untuk mengharapkan datangnya lailatul qadar. Rasulullah SAW bersabda : "Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah saw. Biasa iktikaf 10 hari terakhir pada Ramadhan." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

"Dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW biasa beriktikaf pada tiap bulan Ramadhan 10 hari, dan tatkala beliau meninggal dunia beliau telah beriktikaf selama 20 hari. (Hadist Riwayat Bukhori).

​​​
*) Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah menjadi jurnalis di LKBN ANTARA hingga memasuki masa pensiun

 

Copyright © ANTARA 2023