Islam harus menjadi "pohon besar" yang menaungi siapa saja, termasuk yang di luar Islam,
Bondowoso (ANTARA) - Guyonan super-sensitif yang berpotensi menyinggung agama banyak disampaikan oleh K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur, mantan Ketua Umum PBNU dan mantan Presiden RI.

Salah satunya, guyonan tentang dialog kiai dengan pendeta saat keduanya naik bus (bis) bersama. Saat bus hendak berangkat, cerita Gus Dur, sang kiai mengucapkan "bismillah".

Spontan si pendeta mengingatkan si kiai bahwa ucapannya keliru. Menurut si pendeta, bus yang mereka naiki bukan "Bis Mila", melainkan "Bis Eka". Si kiai menerima pembetulan dari si pendeta.

Bus terus melaju dalam keadaan hujan dan petir menyambar-nyambar. Spontan si pendeta berucap, "Haleluya". Giliran kiai membalas ucapan pendeta. Kiai mengingatkan pendeta bahwa yang berbunyi itu bukan haleluya , tapi halilintar. Kalau ibarat permainan, antara kiai dan pendeta sama-sama menang.

Kalau saja guyonan itu tidak dilontarkan oleh seorang ulama besar sekaliber Gus Dur, sangat mungkin hal itu akan memantik pertengkaran, baik dari pihak Islam maupun Kristen. Guyonan itu memiliki peluang untuk dituduh menghina Islam sekaligus Kristen.

Namun, semua orang tahu bahwa Gus Dur adalah kiai besar dengan sanad keturunan yang jelas, yakni dia adalah putra dari K.H. Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama. Gus Dur juga merupakan cucu dari pendiri NU Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy'ari.

Dari sisi Kristen, semua pihak pun tahu bagaimana perjuangan Gus Dur membela agama dan orang-orang di luar Islam. Sejarah paling fenomenal dari pembelaan Gus Dur pada non-Muslim adalah diizinkannya peringatan Hari Raya Imlek untuk umat beragama Konghuchu.

Dengan latar seperti itu, orang Islam maupun Kristen tidak pernah menganggap cerita humor antara kiai dengan pendeta di dalam bus itu sebagai penghinaan. Cerita itu justru melampaui prasangka negatif dan semuanya menganggap betapa perbedaan iman tidak harus memutus persahabatan antara kiai dengan pemuka agama lain, dalam bingkai dan ikatan saling mencintai serta menghargai.

Seandainya tidak berkonotasi berlebihan, kalau saat ini kita rindu dengan guyonan Gus Dur yang lintas iman itu, bisa kita saksikan dari apa yang dilakukan oleh Habib Husein Ja'far, ulama muda, yang kini banyak mengisi ruang-ruang media digital, khususnya di kanal YouTube.

Habib asal Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, ini diterima oleh tokoh-tokoh agama lain sekaligus juga tidak ada persoalan di dalam lingkungan Islam sendiri. Habib Ja'far bisa duduk satu panggung dengan format guyon dengan tokoh agama di luar Islam, tanpa ada saling ketersinggungan.

Dalam beberapa tayangan di YouTube, Habib Ja'far beberapa kali terlibat obrolan dengan pendeta, bante, dan lainnya.

Pertemuan akrab itu tidak jarang menyentuh hal-hal sensitif yang menertawakan realitas umat Islam yang belum sempurna mewujudkan nilai-nilai Islam dalam keseharian. Demikian juga ketika Habib Ja'far mengutarakan realitas umat agama lain dalam konteks yang negatif, namun tokoh agama yang berbincang itu tertawa-tawa.

Kesannya, realitas beragama dan pengamalan ajaran bukan lagi sesuatu yang "sakral mati", sehingga tertutup peluang untuk dikritik dengan guyon. Pikiran kritis atas realitas umat dalam menjalankan agamanya diguyonkan, namun tetap mengandung makna dakwah alias saling mengingatkan.

Kata kunci yang sering terlontar dalam obrolan Habib Ja'far dengan tokoh agama lain itu adalah log in. Rupanya kata kunci itu mewakili ajakan untuk saling masuk ke agama masing-masing.

Seorang bante dalam dialog itu mengatakan bahwa log-in untuk masuk ke agama Buddha adalah sadar. Ketika Habib Ja'far dipancing untuk mengakui sudah "sadar" oleh bante, Habib Ja'far tertawa ngakak. "Nah, itu log-in, ujar bante tertawa.

Habib Ja'far kemudian berkata dengan nada tanya bahwa "dakwah" bante untuk mengajak orang lain masuk ke agama Buddha banyak menggunakan cara prank. Bante tertawa, demikian juga Habib Ja'far dan pembawa acara, Odad, yang beragama Kristen.

Dalam guyonan yang sangat menyentuh esensi keimanan itu meluncur tanpa nada menjatuhkan antara tokoh satu dengan lainnya. Suasananya tetap rapi dalam bingkai kebersamaan atau persaudaraan.

Menurut Habib, kalau mereka tidak bersaudara dalam satu iman yang sama, mereka bersaudara sebagai sesama warga bangsa Indonesia dan juga saudara sesama manusia.

Mengenai ajakan log-in ke agama lain, Habib Ja'far yang merupakan alumnus SMA Negeri 1 Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, ini menegaskan bahwa hal itu sangat tidak mungkin bagi dirinya.

"Mana mungkin ada seorang habib menjadi non-Muslim," kata ulama yang sering melayani pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dari "pemuda tersesat" itu disambut tawa Odad dan bante.

Dalam konteks ini Habib Ja'far ingin menegaskan bahwa Islam itu hadir menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rahmat Islam bukan hanya untuk orang Islam.

Bagi Habib Ja'far, Islam itu harus menjadi "pohon besar" yang menaungi siapa saja, termasuk yang di luar Islam, bahkan, untuk mereka yang tidak beragama sekalipun. Ada habib duduk ngobrol bersama dengan pendeta saja adalah pemandangan yang indah. Dari sisi Islam, pemandangan seperti itu akan melunturkan pandangan yang islamofobia.

Demikian juga dengan bante yang menegaskan bahwa untuk menjadi Buddha, seseorang tidak harus menganut agama Buddha. Pada intinya bagaimana mengajak semua saling berbuat kebajikan dan kebahagiaan semua makhluk.

Sementara bagi Pendeta Yerry Pattinasarany, persahabatan dan dakwah bersama dirinya dengan Habib Ja'far adalah upaya mewujudkan kasih sayang Tuhan untuk semuanya.

Dalam perbincangan itu dibalut dalam ikatan saling berbuat baik dan jauh dari tujuan terselubung, termasuk upaya kristenisasi.

Bagi dia wujud dari mencintai Tuhan adalah mencintai apa yang Tuhan cintai. Dia yakin bahwa Tuhan sangat mencintai orang-orang seperti Habib Ja'far.

Meskipun demikian, bukan berarti kebersamaan itu tanpa ada penolakan. Bahkan ada beberapa yang kecewa begitu melihat kedua tokoh agama berbeda itu tidak saling berdebat. Justru keduanya saling menerima perbedaan.

Hanya saja, Yerry sepakat bahwa duduk bersama keduanya itu saja sudah memberi pesan luar biasa bahwa tidak ada alasan untuk saling bermusuhan.

Sementara bagi Habib Ja'far, toleransi itu seharusnya bukan sesuatu yang luar biasa. Ketika ada seseorang ustadzah bergandengan tangan dengan suster Kristen, seharusnya pemandangan itu menjadi hal yang biasa dalam realitas kehidupan sehari-hari.













 

Copyright © ANTARA 2023