Seluruh album Leo Kristi itu lahir dari rahim pengembaraannya bersama hidup yang serba menggelandang ala troubadour
Jakarta (ANTARA News) - Tetap setia bersama cinta akan dendang balada negeri Pertiwi ditawarkan oleh sosok Troubadour asal kota pahlawan Surabaya selama dua jam lebih di sebuah cafe di kawasan kota tua Museum Fatahillah, Jakarta Pusat, pada Sabtu (15/12).

Deret puluhan bangku rotan dan gelaran tikar siap menyambut tamu dari berbagai pelosok negeri. Mereka mengaku telah menyandarkan hati kepada oase sejuk dari syair berbalut lagu-lagu bertema alam dan pigura retak dari hidup keseharian "wong cilik" di desa sebagai petani, di laut sebagai nelayan.

Tidak ingin disebut sebagai ajang sarat nostalgia bagi pecinta setia Leo Kristi, atau kerap dilabel sebagai LKers, malam itu langit dipenuhi oleh bulan separuh bayang. Dan mereka setia berharap bahwa malam itu ada tirakat dari deraian gitar sang Troubadour bernama lengkap Leo Imam Sukarno.

Tampil berkostum serba hitam, dari jaket, topi, T-shirt sampai pantalon, Leo bersama tiga rekan-rekan putri yang tampil bergantian, menghantar puluhan pecintanya ke altar sukacita akan lirik-lirik bertema permenungan, akan negeri yang karut marut, akan cinta yang serba lebam.

Malam itu, Leo ingin memutar jarum jam pikiran dan hati LKers agar cinta akan negeri ini tidak mati suri. Dengan usia yang sudah tidak lagi dapat dibilang muda bagi seorang penyanyi, Leo yang lahir di Surabaya pada 8 Agustus 1949, tetap punya olah vokal yang prima.

Dia masih lantang melafalkan syair dan membawakan tembang bersama deraian senar gitar dengan berbalut tema keseharian hidup di jalanan.

Tetap menaikkan sebelah kaki di atas tong besi untuk menyangga gitarnya, Leo membawakan sejumlah lagu yang pernah nge-top di telinga para pecintanya, antara lain Bulan Separuh Bayang, Salam dari Desa, Gulagalugu Suara Nelayan, Lewat Kiara Condong, Timor Timur, SASL (Solus Aegroti Suprema Lex est), Nyanyian Tanah Merdeka.

Memang tidak ada lagi satu gitar hitam yang setia berada di punggung Leo seperti biasanya kalau dia menggelar Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK). Gitarnya malam itu juga tidak lagi hitam seperti gitar khasnya tempo dulu bermerk Kristi. Meski demikian, dahaga LKers terpenuhi dengan derai ombak laut, dengan atmosfer bocah berlarian, dengan getir dari perjuangan di Timor Timur.

"...Berayun ayun laju perahu Pak Nelayan/Laju memecah ombak perahu Pak Nelayan/Buih-buih memercik di kiri-kanan 2x, perahuuuu/Jauh di kaki langit terbentang layarmu/Kadang naik, kadang turun, dimainkan oleh ombak/Badai laut biru...." (Gulagalugu Suara Nelayan)

"...Lewat kiara condong kereta laju/Seorang gadis telanjang dada/Basah rambutnya berkeramas/Sempat ku lihat tisik kainnya/Di balik bilik bambu/Reyot dan tak beratap/ Lai...lai...lai...lai...lai...lai...lai...lai.../ Ketika lewat Kiara Condong/Matahari tidur di balik gunung/Ketika lewat Kiara Condong/Tuan-tuan tidur di sejuk gunung." (Lewat Kiara Condong)

"Lilin putih di tepi taman biru/Gedung putih luar tenang damai/Serasa tak lagi ada kotor dan perang/Karena saat telah dekat jalan Tuhan Solus Aegroti Suprema Lexest/Di lorong pedestrian tunduk melangkah/Lorong pedestrian basah air mata." (SASL)

Ketiga tembang Leo itu tercipta dari pengalaman keseharian dia bersentuhan dengan apa yang sedang rakyat alami, bukan dengan apa yang sedang diomongkan elite politik. Leo menggelandang karena menghidupi semangat trobadour. "Dia hidup dan menimba banyak inspirasi dari mereka yang hidup di jalanan," kata seorang Lkers, Petrus Bayu.

KRLK, semula bersama Naniel, Mung, dan penyanyi Tatiek dan Yayuk, lantas mengubah punggawanya dengan beranggotakan Ote, Komang, Cok Bagus, dan penyanyi kakak beradik Yana dan Nana van Derkley.

Mereka yang berumah di angin atas blantika musik Nusantara menyebut bahwa KRLK menyanyikan lagu-lagu dalam genre folk, country, dan didukung lirik-lirik puitis. "Lirik lagu-lagu Leo bagaikan oase menyejukkan," kata seorang Lkers dari Jakarta, Antonia M Anggraeni.

Tawaran oase menyejukkan dari Leo Kristi agaknya bukan tanpa hambatan. Album KRLK kini menjadi barang yang boleh jadi "memfosil", untuk tidak langsung menyebut sebagai barang langka.

Sebut saja, album Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985) yang gagal beredar, Deretan Rel Rel Salam Dari Desa (1985, aransemen baru), (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993) dan Tembang Lestari (1995, direkam pada CD terbatas). Album yang terakhir album Warm, Fresh and Healthy yang diluncurkan pada 17 Desember 2010.

Seluruh album Leo Kristi itu lahir dari rahim pengembaraannya bersama hidup yang serba menggelandang ala troubadour di pasar, di emper-emper toko, di rel-rel kereta. Bermodal gitar, tambur, harmonika dan tepuk tangan lirih, Leo Kristik menghidupi kisah mistik dari troubadour di Prancis abad 12 dan abad 13.

Troubadour, yang artinya biduan penggubah kidung, pertama-tama berkeliling dari satu tempat ke tempat lain bertujuan menyanyi, menghibur orang lain dan menghibur dirinya sendiri.

Ingin setia sebagai troubadour, Leo Kristi adalah troubadour. Untuk tembang yang mereka lantunkan, troubadour mendapat imbalan ala kadarnya, meski troubadour sebenarnya tidak mencari dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Inilah oase sejuk dari Leo Kristi di tengah hidup serba berbayar, serba uang.

Seorang troubadour tidak bakal menggantungkan hidupnya pada uluran tangan sesama yang tersentuh welas asih. Troubadour, mengamen dengan menggubah kidung bukan untuk mengemis.

Troubadour memenuhi hatinya dengan sukacita dalam tembang, bukan menyesaki hatinya dalam tumpukan harta benda.

Inilah fragmen dari oase tembang-tembang Leo Kristi yang menyejukkan hati, karena dengan menimba petualangan dari hidup troubadour, dia menawarkan sebuah fatsun bahwa seluruh sarwa ciptaan perlu membedakan antara apa yang tampaknya seakan-akan baik dengan apa yang sungguh-sungguh memang baik.

Filosof Plato dalam karyanya berjudul Phaedrus menggunakan ilustrasi dengan menggambarkan jiwa manusia sebagai kereta kencana lengkap dengan penunggangnya yang ditarik kuda-kuda bersayap, antara yang baik dengan yang buruk.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2012