Semarang, (ANTARA News) - Masyarakat yang dirugikan dalam kasus pencemaran lingkungan hidup cenderung menghindari penyelesaian jalur pengadilan, karena melalui jalur perundingan mereka justru memiliki daya tawar. Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip Semarang, Prof. Dr. Sudharto Prawata Hadi, M.E.S di Semarang, Kamis (1/6) mengatakan, penyelesain di luar pengadilan dalam kasus lingkungan memang dimungkinan, sebab ada regulasi yang mengatur penyelesaian di luar jalur hukum. Pasal 30 dan 33 UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi peluang penyelesaian kasus lingkungan di luar jalur hukum atau biasa disebut "alternative dispute resolution" (ADR). Undang-Undang ini memberi tempat bagi penggunaan ADR sebagai salah satu penyelesaian sengketa. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Menurut Sudharto, ada sejumlah keuntungan bila warga menempuh jalur ADR ketika bersengketa dengan industri, pemerintah, atau antarmasyarakat. ADR memberi ruang lebih banyak kepada warga untuk berperan serta dalam perundingan. Mereka juga bisa menentukan agenda perundingan, berpotensi memunculkan kesepakatan yang saling menguntungkan, mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak, lebih murah, cepat, dan efisien dibanding penyelesaian jalur hukum. Meskipun demikian, katanya, ADR juga menghadapi kendala, misalnya keengganan berunding, karena pihak yang memiliki kekuatan biasanya cenderung memilih penyelesaian jalur hukum. ADR juga menimbulkan adanya ketidaksetaraan sehingga malah menghambat proses perundingan dan kuatnya sikap ingin menang, bukan ingin memecahkan masalah secara bersama. Menurut dia, dalam kasus pencemaran di Kepulauan Seribu belum lama ini menunjukkan fenomena menarik, karena yang menginginkan penyelesaian melalui jalur "damai" justru dari pihak industri, bukan dari warga yang dirugikan akibat pencemaran. Sudharto banyak mengupas masalah ADR dalam bukunya yang berjudul "Resolusi Konflik" yang kini memasuki edisi cetak ulang. Pada edisi kedua ini dilakukan sejumlah revisi, di samping menguraikan cara menerapkan ADR dan bagaimana mengorganisasi suatu perundingan. Bedah buku karya Sudharto tersebut akan dilakukan pada 5 Juni mendatang di kampus Undip.(*)

Copyright © ANTARA 2006