Ada yang luar biasa pada sejarah pers nasional, yaitu genap 75 tahunnya usia Kantor Berita ANTARA pada 13 Desember 2012.

Luar biasa karena ANTARA mampu bertahan hidup selama 75 tahun, sementara media lain tumbuh tenggelam karena berbagai hal, baik politis maupun finansial.

Jauh sebelum ANTARA didirikan, tak kurang dari lima kantor berita yang didirikan kaum pribumi. Selain di Pulau Jawa, juga Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Satu lagi bahkan ada di Belanda. Namun, semuanya tidak berusia lama.

Tapi tidak berarti ANTARA bebas dari gejolak serta topan politik dan finansial, bahkan sejak didirikan pada 13 Desember 1937 ANTARA selalu mengalami hal yang sama: gejolak politik internal dan masalah keterbatasan keuangan.

Sebagai kantor berita, ANTARA bertumpu pada pemasukan keuangan dari suratkabar yang menjadi pemakai jasanya ketika itu, sama halnya dengan kantor berita lainnya di dunia.

Untuk mengatasi keterbatasan ini kantor berita perjuangan ini acap berganti badan hukum, mulai yayasan sampai perseroan terbatas (PT), semata demi mendapatkan penghasilan tetap dan berkesinambungan.

Suratkabar dan juga organisasi pers nasional lainnya pernah diikutsertakan sebagai pemegang saham, tapi lagi-lagi mandeg di tengah jalan. Tak ayal Departemen Penerangan ketika itu ikut membantu menurunkan dana bagi kelangsungan hidup ANTARA. Hanya dengan akal panjang salah satu pendirinya, Adam Malik, gaji pegawai bisa dibayar walau antara lain dengan mengutang kepada teman-temannya.

Seiring dengan perkembangan politik pasca kedaulatan, ANTARA menjadi sasaran kepentingan politik sehingga medan perebutan pengaruh antara kaum nasionalis dan agama, melawan kelompok komunis yang berhasil mendominasi ANTARA.

Gejolak yang tak pernah berhenti itu membuat Presiden Sukarno selaku Panglima / Penguasa Tertinggi, mengambilalih dan menempatkannya di bawah pengawasan militer sampai pecah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S/PKI.

Sebelumnya, pada 1962 Presiden Sukarno turun tangan dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 375 tahun 1962 yang menyatukan Persbiro Indonesia PIA (ex KB Belanda Aneta) ke dalam ANTARA dan dengan Keputusan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 43/Peperti Tahun 1962 membubarkan dua kantor berita lainnya, Asian Press Board (APB) dan Indonesian News and Publicity Service (INPS).

Sampai 2007, ANTARA masih berada di bawah institusi kepresidenan. Pada 1976 Antara memperoleh bantuan operasional, di luar gaji pegawai, dari pemerintah berupa Daftar Isian Proyek (DIP).

ANTARA masih tetap mandiri sampai tibanya masa kebijakan ekonomi terbuka di era Orde Baru. Pada era 1980-an imbas ekonomi terbuka itu dana ANTARA bertambah cukup signifikan dengan memberikan pelayanan data ekonomi-keuangan seketika (real time financial data) kepada dunia perbankan dan lingkaran bisnis lainnya yang juga tumbuh subur.

Namun, situasi menguntungkan itu tak bertahan lama. ANTARA kekurangan dana lagi dan untuk mengatasinya pada 2007 ANTARA berganti status lagi dari lembaga non-departemen di bawah institusi kepresidenan menjadi perusahaan umum (Perum) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kendali Kementerian BUMN.

Walaupun tidak terlalu besar, dengan status itu Antara bisa memperoleh dana bantuan berupa Public Social Obligation (PSO) setiap tahun.

Bukan hanya ANTARA yang selalu menghadapi kesulitan keuangan dalam menjalankan operasinya, kantor berita-kantor berita lainnya juga mengalamin hal serupa.

Tiga pilar

Tugas ANTARA sendiri tak berubah dalam menyalurkan informasi. ANTARA pernah turut menjalankan misi menata informasi dunia secara adil melalui Tata Informasi Dunia Baru atau New World Information and Communication Order (NWICO) guna menandingi berita-berita kantor berita asing yang dianggap tidak adil, dengan cara bekerjasama secara bilateral maupun multilateral dengan kantor berita-kantor berita negara-negara berkembang lainnya.

Di antara kerjasama itu adalah antar dua negara, antar kawasan dalam Organisasi Kantor berita Asia Pasifik (OANA), antar negara Non Blok (NANAP), dengan kantor berita Islam (IINA), kantor berita negara-negara pengekspor minyak (OPECNA), dan antar kantor berita Asia Tenggara (ANEX), bahkan Amerika Latin. Konon, dua pertiga belahan dunia menjadi daerah distribusi informasi kantor berita ini.

Lalu bagaimana kedudukan ANTARA sekarang?

Pada era perjuangan kemerdekaan, ANTARA berdiri di atas satu pilar yaitu sebagai kantor berita perjuangan dengan tujuan mengumpulkan dan menyiarkan berita-berita yang berkaitan dengan gerakan kemerdekaan nasional dan sebagai media untuk melancarkan komunikasi antara pemimpin dengan masyarakat.

Sebaliknya pada era Orde Lama dan Orde Baru, ANTARA berdiri di atas pilar berbeda yaitu melayani kepentingan sekaligus menjadi corong pemerintah yang sedang berkuasa.

Pada era Reformasi Antara lain lagi, yaityu berdiri di atas tiga pilar.

Pertama, sebagai bagian pers nasional seperti tercantum pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu sebagai salah satu dari tiga jenis media pers selain media cetak dan media elektronik. Eksistensinya jelas diakui.

Kedua, sebagai kantor berita nasional ANTARA menyuarakan kepentingan negara, menyalurkan berita-berita mengenai kegiatan negara yang sedang membangun.

Ketiga, sebagai kantorberita yang juga menikmati kebebasan pers sesuai Undang-Undang-Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) Nomor XVII Tahun 1998 tentang Hak Azasi Manusia dan Kebebasan Menyatakan Pendapat, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin free flow of information.

Kini, tinggal bagaimana pengelola ANTARA sekarang menyetir dengan bijaksana lembagi ini bagi kepentingan semua pihak.

Dan demi membuat ANTARA tetap hidup, pemerintah harus berkomitmen penuh melindungi asset nasional  dan bangsa yang sangat berharga nan strategis ini.

(*) Mantan Wartawan ANTARA

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012