Jakarta (ANTARA) - Lisa Fitria, pengamat mode sekaligus perancang busana yang dikenal sebagai salah satu pendiri Indonesian Fashion Chamber (IFC) itu bergelut di dunia fesyen sejak kecil, tepatnya sejak duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD).

Saat menempuh jenjang sekolah dasar, dia sudah gemar merancang busana dan membuat jepit rambut sendiri berbekal kain limbah jahitan konveksi orang tuanya. Hasil rancangan jepit dan busana lalu dia jual ke teman-temannya di sekolah.

Orang tua Lisa memiliki toko konveksi khusus produksi seragam dan juga menjual pakaian siap pakai. Ketertarikan Lisa pada dunia fesyen bisa dibilang karena sudah terpapar dunia jahit menjahit yang digeluti orang tuanya.

Perempuan berhijab itu terjun ke industri fesyen secara profesional sejak tahun 1998, sebagai fashion merchandiser di sebuah perusahaan garmen. Kemudian mencapai level General Manager di perusahaan tekstil pada tahun 2008.

Lisa lalu mengundurkan diri dari jabatannya dan menekuni profesi sebagai desainer fesyen dengan bergabung bersama Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

Pada tahun 2016, dia dan teman-temannya mendirikan IFC. Bagi Lisa, menjadi salah satu founder IFC merupakan suatu berkah dari Tuhan yang telah memberikan kepadanya sebuah keluarga kedua harmonis dan menjadi tempat nyaman untuk saling belajar, saling berbagi dan bebas berekspresi dalam berkarya.

Meskipun, kadang timbul perdebatan, perselisihan namun ada saling menyayangi dan merindukan satu sama lain.

Bersama IFC, Lisa mengarungi suka dan duka dan ini pernah dia tuangkan melalui koleksi busana bertema "Teman Tapi Mesra" atau "TTM" pada Desember 2022. Dalam koleksi busana itu dia menjadikan warna oranye sebagai sorotan, yang dimaknai sebagai banyaknya manfaat IFC secara materi dan nonmateri bagi perubahan hidupnya.
Perancang busana sekaligus pengamat mode dari Indonesian Fashion Chamber (IFC) Lisa Fitria dalam perhelatan fesyen "SPOTLIGHT" pada Desember 2022. (Dokumentasi pribadi Lisa Fitria)


Tentang sarung dan fesyen barat

Berbicara karya busana, Lisa termasuk tergolong aktif menggunakan kain-kain tradisional termasuk yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga membentuk tabung itu atau dikenal sebagai sarung.

Sarung sendiri sudah diakui Pemerintah sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa. Presiden Joko Widodo bahkan mengajak masyarakat menggunakan sarung pada setiap hari yang ditentukan sebagai apresiasi atas produk yang memiliki filosofi tinggi itu.

Pada peringatan Hari Sarung Nasional 3 Maret lalu, tercetuslah keinginan para perancang di IFC agar sarung dapat dijadikan busana sehari-hari sama seperti rok atau celana yang identik dengan gaya berbusana barat.

Lisa termasuk yang mendukung harapan ini. Dia dan asosiasinya mengaku konsisten menjalankan misi untuk menularkan virus gaya sarung menjadi pilihan gaya hidup baru yang dapat dipakai sehari-hari.

Sarung sendiri bukan semata dikenal di Indonesia, tetapi juga negara lain khususnya Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Myanmar dan negara di kawasan timur.

Khusus di Indonesia, para perajin di berbagai daerah memiliki kekhasan masing-masing, pun dengan makna filosofisnya. Motif sarung batik Pakem Kaumanan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah misalnya, yang mewakili etnis Jawa, Arab dan Tionghoa. Motif pada sarung merupakan perpaduan berbagai motif termasuk Buketan, Parang dan Jlamprang.

Selain itu, ada juga sarung tenun tradisional Saqbe Mandar atau sarung sutra Mandar di Sulawesi Barat, khas Suku Mandar dengan motif sureq atau garis geometris sederhana dan bunga. Sureq marasa misalnya yang mengusung simbol dan gambaran persatuan dan kesatuan antara seluruh elemen masyarakat yang hidup di Sulawesi Barat.

Para perancang bersama komunitas penggerak budaya mulai konsisten mengampanyekan dan menularkan virus gaya bersarung pada generasi muda, tokoh masyarakat hingga selebritas sejak tahun 2012.

Lisa berpendapat, saat ini pemakaian sarung menjadi lebih populer seiring ditemuinya anak-anak muda berdandan sarung sembari memakai sneaker atau flat shoes untuk sekedar berjalan-jalan ke mal atau sekedar hang out santai.

Gaya bersarung kini juga tak lagi identik dengan muslim, gender atau suku bangsa tertentu. Beberapa perancang busana non-muslim bahkan ikut menyebarkan virus bersarung dengan membuat karya sarung.

Lisa yang menganut gaya maskulin feminin itu mengatakan, ada berbagai gaya yang bisa diaplikasikan menyesuaikan karakternya. Kuncinya, cara mengenakan dan padu padan pendukungnya yang akan memperlihatkan jati diri penampilan.

Lisa mengatakan dirinya konsisten mengenakan sarung khususnya di acara-acara yang digelar IFC. Biasanya, dia yang termasuk sosok androgini, memadukan sarung dengan obi dari kain denim untuk tampilan kasual atau obi dari bahan kulit untuk memunculkan kesan maskulin.

Menurut dia, sarung juga bisa dipadupadankan dengan atasan jaket, kemeja oversize, crop top dan alas kaki misalnya sneaker atau boots.

Sebagai perancang busana, Lisa juga kerap membuat koleksi sarung, yang dijual bersamaan dengan anggota IFC lainnya, saat menggelar pameran, salah satunya saat perhelatan SPOTLIGHT pada Desember 2022. Saat itu, Ketua Nasional IFC, Ali Charisma, mewakili asosiasi mengatakan ingin merayakan keragaman wastra dan budaya Indonesia yang menjadi kekuatan khususnya kepada generasi muda sebagai pembawa fesyen Indonesia ke kancah global.

Dia berharap, dapat terus mengampanyekan virus bersarung ini dan bermimpi agar Pemerintah tetap mendukung penuh salah satunya dengan membiayai pemengaruh internasional atau influencer international untuk memakai sarung buatan Indonesia baik dari kalangan selebritas maupun pesepakbola. Ada harapan selebritas Angelina Jolie, Cristiano Ronaldo, para personel grup idola K-pop BLACKPINK hingga Bangtan Sonyeondan (BTS) mengenakan sarung dari kain semisal khas NTT, Bali , Palembang dan lainnya.

Di sisi lain, para sineas bisa menampilkan para pemain bersarung dengan berbagai gaya dalam film mereka, juga menjadi ide yang menurut dia, patut dicoba guna tradisi bersarung dan produksi sarung tetap lestari.

Pesan di Hari Kartini

Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini setiap 21 April yang tahun ini berbarengan dengan 30 Ramadhan, Lisa berpesan agar para perempuan Indonesia berani tampil menjadi diri sendiri sesuai dengan gaya dan karakternya sendiri, tanpa harus takut dianggap salah atau menjadi bahan pergunjingan orang-orang.

"Karena banyak perempuan Indonesia yang terjebak dalam gaya pakaian yang sebenarnya bukan gaya yang di inginkan dirinya. Tetapi, karena khawatir dianggap aneh atau tidak lazim sehingga mereka tampil dengan gaya yang aman menurut masyarakat kita," papar dia.

Dia lalu berharap para perempuan tak tampil dengan barang palsu hanya demi mendapatkan label keren. Menurut dia, memakai produk palsu sama dengan sedang menipu diri sendiri.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023