Yerusalem (ANTARA) - Bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat Muslim, pada Jumat (21/4) berakhir dengan tenang tanpa adanya eskalasi kekerasan Israel-Palestina, kendati situasi sempat tegang pada awal bulan ini. Sejumlah analis mengaitkan hal itu dengan keyakinan yang dipegang oleh kedua pihak bahwa tidak ada yang mendapatkan manfaat dari eskalasi lebih lanjut.

Semua orang merasa khawatir saat polisi Israel bentrok dengan para jemaah Palestina di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur, tempat suci dan titik pusat konflik Israel-Palestina, pada 5 April lalu. Aksi kekerasan itu memicu sejumlah serangan roket dari Jalur Gaza, Lebanon, dan Suriah, yang kemudian dibalas oleh serangan udara Israel.

Di Tepi Barat, beberapa warga Palestina tewas di tangan pasukan militer Israel di sejumlah lokasi berbeda, dan dua perempuan kakak-beradik Inggris-Israel dan ibu mereka tewas ditembak dalam serangan penembakan dari kendaraan (drive-by) yang dilakukan oleh warga Palestina. Pada 10 April, lebih dari 200 pengunjuk rasa Palestina terluka dalam bentrokan di dekat Kota Nablus, Tepi Barat, usai tujuh menteri Israel dan 17.000 lebih pemukim menggelar aksi unjuk rasa ke sebuah pos pemeriksaan yang tidak berizin untuk menuntut pengesahannya.
 
   Bentrokan-bentrokan tersebut memicu kekhawatiran perihal eskalasi kekerasan lebih lanjut selama bulan puasa bagi umat Muslim, yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah Yahudi. Namun, kekhawatiran itu berangsur-angsur mereda pada hari-hari berikutnya.   Orna Mizrahi, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional (Institute for National Security Studies) Israel, menuturkan bahwa kekuatan militer Israel yang kuat juga berfungsi sebagai penangkal bagi musuh-musuhnya.


Pada 7 April, Komando Front Depan Pasukan Pertahanan Israel mengumumkan pencabutan pembatasan bagi warga di kota-kota dekat area yang berbatasan dengan Jalur Gaza. Media Israel melaporkan bahwa "kecuali lebih banyak proyektil ditembakkan ke arah Israel, babak pertempuran saat ini kemungkinan berakhir."

Bagi pemerintah Israel yang dilanda krisis dan menghadapi kebuntuan selama 15 pekan dengan masyarakat terkait perombakan peradilan yang kontroversial, eskalasi konflik lebih lanjut antara Israel dan Palestina hanya akan memperburuk situasi, kata sejumlah analis Israel.
 
   Orna Mizrahi, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional (Institute for National Security Studies) Israel, menuturkan bahwa kekuatan militer Israel yang kuat juga berfungsi sebagai penangkal bagi musuh-musuhnya.   Tren itu mencerminkan peningkatan kepercayaan diri negara-negara regional terkait, dan musuh-musuh Israel mengawasi potensi eskalasi ketegangan "untuk menguji daya tangkal dan ketahanan Israel," imbuhnya.


Warga Israel dan Palestina kemungkinan sedang memasuki "kenormalan baru," yang dicirikan oleh aksi kekerasan saling balas yang tidak merembet menjadi letusan dahsyat tetapi kebrutalan timbal-balik yang terjadi secara terus menerus, tulis Hussein Ibish, senior resident scholar di Institut Negara-Negara Teluk Arab di Washington DC, dalam sebuah artikel opini di The National, harian yang diterbitkan di Uni Emirat Arab (UEA).

Michael Milshtein, kepala Forum Studi Palestina di Pusat Studi Timur Tengah dan Afrika Moshe Dayan, Universitas Tel Aviv, meyakini bahwa Lebanon dan Suriah "kurang atau bahkan tidak tertarik sama sekali dalam eskalasi kekerasan."

"Ada keterkaitan yang erat antara perkembangan regional strategis dan situasi Israel-Palestina," ujar Milshtein kepada Xinhua, merujuk pada perbaikan hubungan regional belum lama ini di Timur Tengah yang ditandai dengan langkah rekonsiliasi yang diambil oleh rival-rival regional, terutama Iran dan Arab Saudi, untuk memulihkan hubungan diplomatik.
 
   Tren itu mencerminkan peningkatan kepercayaan diri negara-negara regional terkait, dan musuh-musuh Israel mengawasi potensi eskalasi ketegangan "untuk menguji daya tangkal dan ketahanan Israel," imbuhnya


"Normalisasi hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran merupakan titik balik bagi lanskap politik regional dan tidak ada negara yang berminat untuk mendukung eskalasi konflik Israel-Palestina," ujar Assaf Meydani, presiden Asosiasi Ilmu Politik Israel sekaligus dekan Fakultas Ilmu Pemerintahan dan Masyarakat di Sekolah Tinggi Akademis Tel Aviv-Yaffo, kepada Xinhua.

Bagi pemerintah Israel yang diperkirakan akan mencatatkan terobosan diplomatik dengan lebih banyak negara Arab, putaran baru aksi militer berskala besar hanya akan menjadi bumerang, kata sejumlah analis.

Nimrod Goren, Presiden Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel, menyampaikan kepada Xinhua bahwa lanskap geopolitik saat ini menjadi semakin kompleks bagi Israel mengingat kerja sama dalam berbagai bidang di antara negara-negara Timur Tengah terus berkembang.

"Saat ini kita juga menyaksikan peningkatan pertukaran antara Israel dan sejumlah negara regional, terlepas dari pertimbangan strategis yang jauh melampaui manfaat ekonomi," tutur Goren. "Kendati perbedaan politik masih ada, kerja sama yang didasarkan pada kepentingan bersama sedang mendapatkan momentum," demikian Xinhua dikutip Minggu.

(Oleh penulis Xinhua Wang Zhuolun, Nick Kolyohin turut berkontribusi dalam artikel ini.)


 

Penerjemah: Xinhua
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023