Relaksasi DMO yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan perlu disambut baik, karena pemerintah telah menyesuaikan dengan kondisi saat ini
Jakarta (ANTARA) -
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan bahwa penurunan kuota domestic market obligation (DMO) untuk minyak goreng dapat membuka peluang untuk peningkatan ekspor.
 
"Relaksasi DMO yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan perlu disambut baik, karena pemerintah telah menyesuaikan dengan kondisi saat ini," ujar Krisna melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
 
Krisna menjelaskan secara teori, DMO bisa menjaga suplai domestik untuk memastikan Indonesia tidak kekurangan minyak goreng. Namun, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) juga tidak efektif karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin susah untuk turun ke tingkat normal.
Meski demikian, situasi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) saat ini cenderung stabil. Minyak goreng yang umumnya dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari CPO.
 
"Harga internasional sudah lama stabil di level yang akrab, bahkan dalam dua minggu belakangan ini mulai melemah. Di samping itu, kewajiban domestik sudah terpenuhi imbas permintaan yang tinggi di bulan puasa dan Lebaran kemarin," kata Krisna.
 
Kebijakan DMO menimbulkan dampak pada produk turunan minyak sawit lainnya, yang tidak berhubungan dengan minyak goreng (oleochemical), karena tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng.
 
Lebih lanjut, kebijakan DMO mempersulit eksportir karena tidak semuanya memiliki spesialisasi untuk menyuplai pasar domestik, mereka juga belum tentu memahami rantai distribusi domestik.
 
Menurut Krisna, produksi CPO di Indonesia terus menurun sejak 2019. Pada 2021, produksi CPO menurun sebesar 0,9 persen dari tahun sebelumnya menjadi 46,89 juta ton, berdasarkan data GAPKI.
 
Krisna menegaskan, akses terhadap pupuk terjangkau adalah kunci untuk memenuhi permintaan minyak sawit dunia yang diperkirakan akan terus meningkat.
 
Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi minyak sawit adalah tingginya harga pupuk, yang membuat petani sulit mengakses pupuk yang terjangkau.
 
Harga pupuk berbahan baku nitrogen dan fosfat yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit meningkat 50-80 persen pada pertengahan 2021 karena adanya gangguan pada rantai pasok, serta kenaikan biaya angkut, permintaan, dan harga bahan baku.
 
Pupuk merupakan komponen utama dalam produksi kelapa sawit yang memakan 30-35 persen dari total biaya produksi, sehingga harga pupuk yang tinggi akan meningkatkan biaya produksi minyak sawit.
 
Petani swadaya yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi akan mengurangi penggunaan pupuknya dan hal ini kemudian berpotensi besar menurunkan hasil panennya.
 
"Pemerintah juga mulai perlu memikirkan peremajaan pohon-pohon yang mulai tidak produktif," kata Krisna.

Pada Kamis (27/4), Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan DMO atau pasokan minyak goreng dalam negeri dikurangi dari 450 ribu ton per bulan menjadi 300 ribu ton per bulan atau kembali ke awal, yang berlaku mulai Mei 2023.

Kebijakan tersebut sesuai dengan hasil rapat koordinasi evaluasi tentang kebijakan minyak goreng yang dilaksanakan pada 18 April 2023 bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
 
Penurunan DMO merupakan sebuah langkah untuk mengendalikan kestabilan harga minyak goreng di wilayah domestik setelah periode Ramadhan dan Lebaran.

Baca juga: Pengamat: pajak ekspor dan DMO dorong hilirisasi meski terhadang WTO

Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023