Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) meminta pemerintah untuk menyediakan alat spirometri dan bronkodilator di seluruh fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) guna mempermudah melakukan deteksi penyakit asma di masyarakat.
 

“Pada tingkat global, pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator adalah salah satu pemeriksaan awal yang paling berguna untuk mendeteksi asma,” kata Ketua Pokja Bidang Asma dan PPOK PDPI Budhi Antariksa dalam Konferensi Pers Hari Asma Sedunia yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
 

Budhi menjelaskan asma adalah penyakit kronis yang umum namun berpotensi serius. Biasanya ditandai dengan penyempitan dan peradangan saluran pernafasan yang mengakibatkan sesak nafas.
 

Kondisi ini menyebabkan penderitanya mengalami gangguan pernafasan, keterbatasan aktivitas, dan flare-up (serangan) yang terkadang membutuhkan perawatan kesehatan yang mendesak dan bisa berakibat fatal. Dimana sebagian besar beban morbiditas dan mortalitas asma terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Baca juga: PDPI: Indonesia negara dengan beban TB yang tinggi

Baca juga: PDPI: Perkuat edukasi dan kolaborasi capai target eliminasi TB 2030


Situasi penderita asma di Indonesia sendiri, kini sudah mencapai 4,5 persen dari total jumlah penduduk atau sekitar 12 juta jiwa, berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 lalu.

Angka ini diprediksi bisa meningkat mengingat asma bisa diderita oleh seluruh kalangan usia. Hal lain yang dikhawatirkan bila penderita asma tidak dideteksi sedini mungkin adalah beban ekonomi akibat asma yang semakin membesar.

Menurut dia beban langsung akibat penyakit asma dapat dilihat dari biaya pengobatan dan perawatan pasien asma. Sedangkan biaya tidak langsung dihitung berdasarkan efek negatif asma pada produktivitas pasien, seperti tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma.
 

“Terlebih pada beberapa penelitian, beban tidak langsung asma bahkan lebih tinggi dari beban langsung asma akibat pengobatannya. Beban ekonomi ini bervariasi antara negara dengan pendapatan tinggi dan rendah,” katanya.
 

Oleh karenanya, ketersediaan spirometri di level pelayanan kesehatan yang paling bawah sangat diperlukan, termasuk pelatihan untuk pengoperasiannya.
 

Di sisi lain setelah alat-alat untuk deteksi dini itu terpenuhi, pemerintah juga disarankan untuk mempermudah pemberian akses ketersediaan obat-obatan inhaler yang sangat penting dalam tatalaksana asma selain edukasi dan faktor lingkungan kepada masyarakat.
 

“PDPI mengimbau untuk berusaha mengurangi beban ini dengan mendorong para pemimpin perawatan kesehatan, untuk memastikan ketersediaan dan akses ke obat- obatan yang efektif dan terjamin kualitasnya,” katanya.
 

Lebih lanjut ia berharap dalam rangka memperingati Hari Asma Sedunia 2023 yang bertemakan “Asthma care for All”, pemerintah bisa memanfaatkannya untuk mempromosikan pengembangan dan implementasi program manajemen asma, yang efektif di semua lini pelayanan dan sumber daya untuk mencapai suatu kualitas hidup yang didambakan baik oleh pasien maupun oleh lingkungan sekitar pasien.
 

Dengan keinginan yang kuat untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan dengan pembuat kebijakan lokal dan nasional, PDPI juga berkomitmen untuk memastikan rekomendasi khusus untuk keselamatan pasien.
 

“Juga bekerja untuk meningkatkan kehidupan penderita asma secara global, dan kolaborasi multifaset untuk perbaikan dalam semua aspek perawatan asma, untuk pasien dan lingkungan sangat penting,” ucapnya.

Baca juga: Dokter anjurkan pengidap asma tetap bawa obat meski sudah terkontrol

Baca juga: Dokter: Asma tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikontrol

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023