Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan sekitar 12 juta lebih atau sebesar 4,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia merupakan penderita asma.

“Di Indonesia sendiri jumlah penderitanya berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2020 sudah lebih dari 12 juta. Kalau di seluruh dunia diperkirakan ada 262 juta orang penderita asma. Biasanya turun dari orang tua yang memiliki asma,” kata Anggota PDPI Arief Bachtiar dalam Konferensi Pers Hari Asma Sedunia yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Arief menuturkan prevalensi dari penderita asma bervariasi, yakni berkisar antara 1 hingga 18 persen dari total populasi yang ada di berbagai negara baik negara maju ataupun berkembang. Di Indonesia sendiri saja sudah mencapai 4,5 persen.

Ia mengatakan secara umum, asma adalah penyakit yang bisa diderita oleh seluruh kalangan usia dan jenis kelamin tanpa terkecuali. Biasanya dimiliki oleh orang-orang yang ada riwayat keturunan orang tua yang mengidap asma.

Baca juga: PDPI: Olahraga bertahap bantu pasien asma perbaiki kualitas hidup

Baca juga: PDPI minta spirometri disediakan di semua fasyankes guna deteksi asma


Dengan banyaknya penderita asma di Indonesia, Arief meminta supaya masyarakat memahami gejala umum dari penyakit asma itu bervariasi dari waktu ke waktu. Biasanya gejalanya berupa sesak nafas atau nafas berbunyi, diikuti batuk di malam hari yang hilang timbul secara periodik.

Gejalanya bisa memberat bila dipicu oleh alergen yang menyebabkan dada penderita terasa berat seperti ditindih pada waktu-waktu tertentu.

Kemudian sejumlah pencetus terjadinya asma pada seseorang adalah alergi seperti terhadap serbuk sari jamur dan bulu hewan peliharaan, paparan dari iritan dan polusi udara, infeksi pernafasan karena pilek atau flu, kondisi cuaca yang tidak menentu dan refluks gastroesofageal (gerd) akibat asam lambung naik.

“Untuk melakukan diagnosis asma biasanya kita mulai dengan apakah ada gejala sesak, batuk, dada berat atau nafas berbunyi. Kemudian setelah memastikan riwayat mengenai penyakit, kita akan melakukan pemeriksaan seperti tes spirometri dan bronkodilator,” ujarnya.

Sayangnya di Indonesia, alat untuk mendiagnosis penyakit asma belum ada di semua fasilitas kesehatan. Sehingga Arief menyarankan agar pasien asma tetap rutin mengecek kondisinya secara berkala dan mengkonsumsi obat asma baik yang pengontrol atau pelega, termasuk memastikan membawa inhaler kemanapun ia pergi.

Namun, dikarenakan banyaknya jenis inhaler untuk digunakan, ia meminta agar penderita menyesuaikannya dengan kondisi dan anjuran dokter.

“Obat asma sebagai pengontrol ini digunakan untuk secara rutin baik ada serangan ataupun tidak untuk mereka yang statusnya tidak terkontrol, karena obat-obatan asma ini tujuannya untuk mengurangi radang dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma,” katanya.

Kemudian dikarenakan belum ada penelitian yang menyatakan asma bisa disembuhkan sejauh ini, sebagai peringatan Hari Asma Sedunia 2023 dirinya mengimbau kepada seluruh penderita asma untuk mengontrol kondisinya dengan sebisa mungkin menghindari asap rokok atau asap vape, segera berobat bila gejala berlanjut serta berolahraga rutin seperti senam asma, berenang, lari kecil atau jalan sehat.

"Lalu dalam memperingati Hari Asma Sedunia 2023 harapan kita di semua lini pelayanan kesehatan, minimal memiliki suatu spirometer saja. Dari sinilah kita bisa mulai mendiagnosis asma," ucapnya.*

Baca juga: PDPI: Indonesia negara dengan beban TB yang tinggi

Baca juga: PDPI: Perkuat edukasi dan kolaborasi capai target eliminasi TB 2030


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023