Reykjavik (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Islandia, Haldor Asgrimsson, yang negerinya dilanda kekhawatiran krisis ekonomi, pada Senin (5/6) waktu setempat menyatakan dirinya berencana mengundurkan diri, dan media massa lokal melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri (Menlu), Geir Haarde, siap mengambil-alih posisinya. Asgrimsson kepada harian Morgunbladid, layaknya dikutip Kantor Berita Reuters, sempat mengemukakan bahwa dirinya siap memikul tanggung jawab terhadap penampilan buruk Partai Progresif yang dipimpinnya dalam pemilihan umum lokal pada 27 Mei 2006. "Haldor Asgrimsson telah mengatakan bahwa ia akan mengakhiri keterlibatannya dalam politik," kata Juru Bicara Pemerintah Islandia. Ia mengemukakan hal itu merujuk komentar PM Asgrimsson kepada media Islandia. Harian Morgunbladid mencatat penyataan Asgrimsson bahwa pembicaraan mengenai suksesi akan dilakukan dengan Geir Haarde, pemimpin mitra koalisi senior Partai Independen, termasuk membahas pembentukan pemerintah baru di bawah pimpinan Haarde. Untuk sementara waktu, Asgrimsson menetapkan akan tetap menjadi pemimpin Partai Progresif. Partai Independen dalam beberapa waktu terakhir ini mendominasi kegiatan politik di Islandia, bahkan David Oddsson sempat menjadi PM selama 13 tahun sampai 2004, sehingga tercatat sebagai PM paling lama berkuasa di Eropa. Oddsson dinilai mampu memimpin pembaruan ekonomi secara besar-besaran, dan membantu mengurangi ketergantungan Islandia terhadap penangkapan ikan, meskipun kegiatan industri baru memberi sumbangan bernilai kecil pada hasil ekspor negeri tersebut. Asgrimsson memangku jabatan PM pada 2004 melalui pemilihan umum nasional, dan menjalin kesepakatan dengan Partai Independen sehingga menempatkan Oddsson menjadi Menlu Islandia, kemudian memimpin bank sentral. Islandia yang mengalami perubahan konstelasi pemerintahan tersebut tampaknya tidak akan mengakibatkan perubahan dalam kebijakan ekonominya, namun bakal menghentikan perdebatan mengenai penggabunganbersama Uni Eropa (UE). Asgrimsson telah menyampaikan rencana tersebut, karena Partai Independen sejak awal cenderung ragu terhadap UE. Meskipun bukan anggota UE, Islandia merupakan bagian dari daerah ekonomi Eropa yang memiliki akses ke pasar bersama Eropa. Asgrimsson telah menghadapi tekanan sejak pemilihan umum lokal di seluruh negeri itu memperlihatkan kemerosotan dukungan bagi partainya dari 23 % dalam pemilu lokal sebelumnya menjadi 12 %. Pada 2004, ia memangku jabatan saat ekonomi Islandia melonjak dengan merebaknya penanaman modal asing di sektor alumunium dan pembangkit listrik serta deregulasi pasar modal. Kekhawatiran bahwa ekonomi "terlalu panas" mengakibatkan penjualan mata uang kron Islandia nilai tukarnya anjlok hingga 20 persen sepanjang bulan Februari, Maret dan April terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan Ero. Islandia pun dilanda inflasi melambung tinggi, dan bank sentral telah menaikkan nilai suku bunganya. Namun demikian, pemilu lokal Mei lalu tidak mempengaruhi komposisi di parlemen nasional Islandia, yang memiliki 63 kursi, yakni Partai Independen memiliki 23 kursi dan Partai Progresif mendapat 12 kursi. Standard & Poor menjadi lembaga pemeringkat keuangan paling akhir yang mengangkat "bendera merah" mengenai perekonomian Islandia, dan menyatakan negeri itu menghadapi risiko terjatuh akibat ekonomi "yang terlalu panas" dan citranya merosot menjadi negatif. Birgir Gudmundsson, asisten profesor ilmu politik di Universitas Akureyri di Islandia utara, mengatakan bahwa Partai Progresif telah mengalami silang-pendapat di dalam. "Partai itu juga sangat terikat pada kebijakan kuno 'industri berat`, dan dipandang kurang bersahabat pada lingkungan hidup dibandingkan dengan partai lain, akibat kepeloporannya dalam pembangunan pabrik alumunium di Islandia," kata perempuan ilmuwan tersebut. Bahkan, ia menambahkan pecinta lingkungan hidup marah terhadap kegiatan pembangkit listrik besar di Islandia timur, yang mereka nilai berada di jantung salah satu hutan terbesar di Eropa yang belum rusak. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006