Jakarta (ANTARA) - Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya, yang salah satu poinnya menekankan penolakan terhadap politik identitas.

Ada enam rumusan yang dihasilkan dalam AICIS 2023. Rumusan Piagam Surabaya tersebut dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya.

"Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras," ujar Ahmad Muzakki saat membacakan Piagam Surabaya pada penutupan AICIS 2023 yang dipantau dari Jakarta, Kamis.

AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Kegiatan tersebut diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. AICIS tahun ini mengangkat tema "Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace".

Baca juga: Menag: Rekontekstualisasi hukum agama dan fikih mutlak dilakukan

Selain diikuti para ahli fikih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan Muslim internasional. Hadir sebagai pembicara, di antaranya Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na'im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir).

Ahmad Muzakki menjelaskan Piagam Surabaya ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?

Jawaban atas tiga pertanyaan tersebut tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya yaitu pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan.

Baca juga: AICIS kaji relevansi fikih dan kemanusiaan digital

Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.

Keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.

Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.

Menurut dia, untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif.

Baca juga: Gubernur Jatim sebut AICIS jadi pertemuan budaya dan pemikiran

"Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian," kata dia.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023