Salah satu klausul dalam PKPU tersebut, yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b, kami nyatakan bertentangan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UU Pemilu
Jakarta (ANTARA) -
Perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Rotua Valentina Sagala meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan pada 17 April 2023.
 
"Salah satu klausul dalam PKPU tersebut, yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b, kami nyatakan bertentangan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UU Pemilu serta semangat memastikan keterwakilan perempuan," ujar Valen di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Jakarta, Senin.
 
Menurut dia, ketentuan pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU 10 Tahun 2023 itu secara nyata bertentangan dengan pasal 245 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
 
Ia menegaskan pengaturan KPU juga tidak hanya melawan norma dalam UU Pemilu, namun inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Adapun pasal ini memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara.

Baca juga: Perludem sebut PKPU 10/2023 berdampak pada 38 daerah pemilihan
Baca juga: Akademikus dorong Bawaslu ajukan uji materi PKPU ke MA
 
"Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan," tambahnya.
 
Untuk itu, sambung Valen, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyatakan berbagai sikap yang juga sudah diaudensikan bersama Bawaslu. Pertama, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyatakan menolak Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 karena melanggar UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemilu dan mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
 
Kedua, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam. Sesuai kewenangannya Bawaslu harus menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemilu.
 
Lalu, ketiga, apabila dalam waktu 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, maka Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
 
"Semoga dapat menjadi pihak-pihak yang berwenang serta menjadi pengingat publik untuk terus mengawasi proses Pemilu 2024 agar berjalan demokratis, konstitusional serta menjamin dan melindungi hak politik perempuan," harap Valen.

Baca juga: Bawaslu diminta koreksi PKPU yang bisa kurangi keterwakilan perempuan
Baca juga: Wakil Ketua MPR soroti PKPU terkait rendahnya keterwakilan perempuan

 

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023