Di dalam PKPU itu ada ruang untuk perubahan urutan, nama, dapil, sampai bagian atau tahap akhir sebelum penetapan DCT.
Jakarta (ANTARA) - Koalisi organisasi dan masyarakat sipil, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, mengajukan uji materi (judicial review/JR) Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin.

Para pemohon, yang terdiri atas Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib, meminta Mahkamah Agung membatalkan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 karena itu diyakini bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Kami memohon, meminta Mahkamah Agung membatalkan klausul di dalam peraturan KPU yang kemudian membuat (aturan) minimal 30 persen dalam daftar calon (anggota legislatif) partai politik di setiap daerah pemilihan itu dibatalkan karena perhitungan KPU keliru, tidak sesuai dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu," kata kuasa hukum para pemohon, Fadli Ramadhanil, selepas mendaftarkan uji materi di Mahkamah Agung, Jakarta, Senin.

Fadli Ramadhanil menjelaskan bahwa Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah beberapa kali ke KPU untuk menagih janji mereka yang pada bulan lalu (10/5) mengumumkan ke publik akan merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023.

Namun, KPU tidak kunjung merevisi aturan itu, terutama setelah mereka berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 17 Mei 2023.

"Menurut kami, KPU berbohong kepada publik. Janji akan merevisi PKPU, tetapi tidak melakukan itu karena dilarang oleh DPR. Karena KPU-nya tunduk kepada DPR, untuk memastikan kerangka hukum pemilu tetap konstitusional, tetap sesuai dengan prinsip pemilu luber jurdil (langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil), maka kami melakukan uji materi ke MA," kata Fadli menjawab pertanyaan ANTARA.

Dalam sesi jumpa pers yang sama, salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay, menilai ruang untuk merevisi ketentuan itu masih terbuka meskipun pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) telah rampung pada tanggal 14 Mei 2023, dan saat ini masih menunggu verifikasi dari KPU.

"Menurut saya itu tidak ada masalah, apalagi di dalam PKPU itu ada ruang untuk perubahan urutan, nama, dapil (daerah pemilihan), sampai bagian atau tahap akhir sebelum penetapan DCT (daftar calon tetap). Jadi, tidak bisa juga kami terima kalau ini jadi alasan," kata Hadar, yang pernah menjabat sebagai anggota KPU periode 2012—2017.

Jika nanti putusan MA tidak sesuai dengan keinginan para pemohon, Hadar mengatakan bahwa Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan terus mencari jalan.

"Jangan sampai pemilu kita ini berantakan gara-gara dilaksanakan tidak sesuai dengan undang-undang. Ini risikonya besar sekali buat bangsa kita, negara kita. Kami cari jalan selalu. Mudah-mudahan akan ada jalannya," kata Hadar.

Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10/2023 mengatur dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Para pemohon menilai aturan itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 245 UU Pemilu, dan Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Baca juga: Keharmonisan aturan kepemiluan harus tetap dijaga
Baca juga: Hindari produk hukum kepemiluan yang timbulkan pro dan kontra

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023