Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik, Dr Denny JA, mengatakan manuver politik para mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tak ikut Pilkada memang di luar dugaan, meski keputusan seperti itu sudah diperkirakan diambil untuk mencegah perpecahan di tubuh GAM, serta menghindari "rasa malu" di mata dunia internasional jika kalah di Pilkada. "Meski demikian, keputusan GAM tidak mengikuti Pilkada memang akan berdampak makin kondusifnya keadaan Aceh, dan ketegangan bisa dikurangi," kata pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI) itu, saat dihubungi di Jakarta, Rabu. Menurutnya, LSI sudah pernah melaksanakan survey Pilkada di Aceh, dan hasilnya ternyata kurang dikenalnya tokoh-tokoh mantan GAM oleh masyarakat Aceh sendiri. Karenanya, mantan GAM diperkirakan akan kalah dalam Pilkada berdasarkan hasil survey tersebut. Disebutkannya ketidakikutsertaan mantan GAM di Pilkada merupakan manuver hubungan politiknya, karena hampir tidak masuk akal jika mereka tidak menginginkan ikut Pilkada untuk menduduki jabatan kepala daerah. "Pasca penandatangan kesepakatan damai Helsinki, puncaknya adalah perebutan kepala daerah melalui Pilkada. Melalui kepala daerah lah bisa diawasi butir- butir pelaksanaan kesepakatan damai Helsinki dan implementasi UU Pemerintahan Aceh yang sekarang ini masih dalam pembahasan di DPR," katanya. Denny juga memperkirakan keputusan mantan GAM tidak ikut Pilkada bisa juga sebagai manuver untuk mengecoh lawan-lawan politiknya di Pilkada agar tidak siap. Hasil Pilkada Aceh, menurut dia, sebaiknya dimenangi tokoh-tokoh parpol nasional asal Aceh, namun kepentingan mantan GAM terakomodir. Jika mantan GAM memutuskan ikut Pilkada, dan hasilnya adalah kalah, tentunya mereka akan malu. Karenanya, Denny menyebutkan ketidakikutsertaan mantan GAM di Pilkada merupakan suatu keputusan yang bijak. Sementara itu, pengajar Universitas Syah Kuala, Dr Iskandar A Gani, juga menyebutkan keputusan mantan GAM tidak ikut Pilkada merupakan tindakan yang tepat. Namun, ia memperkirakan ketidakikutsertaan di Pilkada merupakan upaya mantan GAM untuk lebih fokus mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2009 melalui pembentukan Parpol lokal. Menurut juru bicara mantan GAM, Bakhtiar Abdullah, kadernya yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak dilarang, namun harus atas nama pribadi, dan bukan atas nama mantan GAM. Iskandar Gani mengemukakan keputusan mantan GAM dinilai sangat mendadak karena sebelumnya mereka telah menyatakan akan ikut Pilkada dan telah menetapkan dua kadernya menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan diusung pada Pilkada mendatang. Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) NAD itu, pihak mantan GAM sepertinya akan lebih konsentrasi pada Pemilu nasional 2009 melalui Partai lokal yang akan dibentuk setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUUPA). Ia menyatakan keputusan tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk strategi mantan GAM untuk berbenah diri menghadapi Pemilu 2009, karena Pilkada 2006 merupakan masa transisi yang tentunya akan banyak persoalan yang dihadapi. "Pada masa transisi tentu saja banyak masalah yang akan dihadapi oleh mantan GAM, dan apabila gagal, maka pamor GAM akan menurun dan akan menjadi bumerang pada Pemilu legislatif 2009," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006