Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brigjen TNI (Purn) dr. Noch T Mallisa mengatakan ketersediaan akses jamban sehat bagi masyarakat sangat penting dan menjadi salah satu faktor untuk percepatan penurunan angka gagal tumbuh (stunting) di Indonesia.

WC for all itu sangat penting. Dalam arti jamban yang sehat karena ini menjadi salah satu indikator untuk menurunkan stunting. Tapi berapa besar potensinya untuk penurunan angka stunting, itu yang kami minta untuk dilakukan risetnya,” kata Mallisa setelah beraudiensi dengan pakar sanitasi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr. dr Budi Laksono, MHSc di Jakarta, Rabu.

Ketersediaan jamban sehat dan memadai, kata Mallisa, dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi lingkungan dan penyebaran penyakit. Hal ini penting untuk mengurangi risiko infeksi saluran pencernaan dan penyakit diare yang dapat menyebabkan kekurangan gizi dan stunting pada anak-anak.

“Jika nanti sudah diketahui berapa besar penurunan stunting yang bisa dilakukan dari ketersediaan jamban sehat, KSP akan menginisiasi pembangunan jamban sehat untuk masyarakat, tentunya bersinergi dengan kementerian/lembaga,” kata dia.

Baca juga: Jawa Barat targetkan seluruh kabupaten/kotanya bebas BABS pada 2030

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengamanatkan penanganan stunting di Indonesia harus dilakukan secara terintegrasi oleh kementerian dan lembaga terkait. Hal itu karena masalah stunting tidak hanya terkait dengan makanan dan gizi, namun juga dengan lingkungan dan sanitasi, termasuk akses ke jamban yang sehat.

Presiden Jokowi mentargetkan penurunan angka stunting mencapai 14 persen pada 2024.

Sementara itu, Pakar Sanitasi, Dr. dr Budi Laksono mengungkapkan bahwa pada 2021 masih terdapat 14,9 juta keluarga di Indonesia yang tidak memiliki jamban.

Hal itu dapat memberikan implikasi yang signifikan bagi Indonesia, yakni pada aspek kesehatan dan juga pada pembangunan sumber daya manusia, serta ekonomi.

“Penyakit nomor satu dan dua itu adalah penyakit yang berkaitan dengan pencernaan, seperti tifoid dan diare. Tingginya kasus penyakit tersebut banyak menghabiskan anggaran kesehatan,” ungkapnya.

Budi yang pernah menggagas gerakan 20 juta jamban untuk masyarakat ini, mengatakan bahwa salah satu tantangan untuk meningkatkan kualitas sanitasi di Indonesia yakni masih adanya persepsi di masyarakat, bahwa penilaian jamban sehat itu hanya dengan kriteria harus bertembok dan beralas keramik. Padahal, masih terdapat indikator penting lainnya untuk menilai jamban sehat atau tidak sehat.

“Sehat tidaknya jamban ditentukan oleh fungsi dan kemampuannya dalam menyimpan fases secara kedap, tidak mengalirkan fases pada sumber air, dan memiliki chemical chamber untuk mengolah fases. Jadi bukan dilihat dari tembok atau keramiknya. Persepsi ini yang harus diubah,” kata dia.

Untuk itu, kata Budi, ketersediaan jamban murah dan sehat menjadi penting demi mencegah persebaran patogen yang membahayakan sistem pencernaan manusia.

“Penyakit-penyakit pencernaan seperti diare ini mengancam kehidupan anak. Ini yang harus diselamatkan,” ujarnya.

Baca juga: UNICEF dan Pemprov Sulsel diseminasi program KPP cegah stunting
Baca juga: BKKBN: Butuh keterlibatan tokoh agama data calon pengantin di Elsimil


Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023