Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Eva Susanti mengatakan pihaknya mendukung penuh inisiatif-inisiatif yang dilakukan swasta dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit asma, guna meningkatkan kesehatan masyarakat.

Baca juga: Pasien asma jangan gunakan obat jenis SABA berlebihan

"Kami sepenuhnya mendukung inisiatif yang sejalan dengan tujuan pemerintah, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat," kata Eva saat menyampaikan sambutan secara daring dalam acara temu media di Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikan Eva dalam rangka memperingati Hari Asma Sedunia yang jatuh pada 5 Mei.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2020, asma merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diidap masyarakat Indonesia. Setidaknya hingga akhir tahun 2020, jumlah pengidap asma di Indonesia mencapai lebih dari 12 juta orang atau 4,5 persen dari total jumlah penduduk.

Eva pun memaparkan bahwa berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun tahun 2018, sebanyak 57,5 persen pasien asma di Indonesia masih mengalami serangan.

Untuk itu, menurut Eva, kampanye yang dilakukan pihak swasta menjadi salah satu langkah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang asma.

"Kami pun berharap kampanye dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di Indonesia untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik," ujar Eva.

Asma merupakan jenis penyakit karena adanya penyempitan dan peradangan saluran pernapasan. Biasanya, asma ditandai dengan batuk kronik berulang atau batuk yang tak kunjung sembuh, hingga napas yang mengeluarkan bunyi atau mengi.

Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr. H. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P, FISR, FAPSR, MARS mengatakan, asma dapat dipicu di antaranya oleh debu, bulu hewan, polusi udara, kelelahan, hingga kondisi cuaca seperti udara yang dingin atau panas.

"Pencegahan asma yang paling efektif tentu menghindari dulu faktor pencetusnya. Jadi terapinya ada dua. Pertama terapi non-farmakologi, bukan obat-obatan, artinya lihat dulu lingkungan sekitarnya. Lalu kedua, kalau yang pertama tidak bisa, barulah terapi farmakologi, jadi gunakan obat-obatan yang sudah dibicarakan dengan dokter," ujar Yanuar.


Baca juga: Dokter sebut 80 persen anak dengan asma punya riwayat alergi

Baca juga: Orang tua perlu waspada jika anak alami batuk kronik berulang

Baca juga: Anak seorang perokok berisiko empat kali mengalami gangguan pernapasan

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023