Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan bahwa inhaler pelega jenis Short-Acting Beta-Agonist (SABA) saat ini sudah tidak direkomendasikan digunakan oleh pasien asma karena dianggap kurang efektif dalam masa pengobatan.

“SABA tidak lagi direkomendasikan karena tidak bisa mengatasi peradangan yang mendasari asma,” kata dokter spesialis paru sekaligus anggota PDPI Mohamad Yanuar Fajar dalam talkshow Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Yanuar menuturkan asma adalah sebuah penyakit yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh radang kronis saluran napas, sehingga menyebabkan penyempitan dan hipereaktif pada saluran napas.

Baca juga: PDPI: Asma belum bisa disembuhkan dan dapat menimpa semua usia

Terdapat sejumlah penyebab asma seperti riwayat keluarga, adanya alergi, pajanan kerja akibat zat kimia, uap atau asap, rokok hingga polusi udara. Biasanya gejala yang dirasakan penderita berupa sesak napas, sulit bernapas, batuk, batuk timbul hilang ketika malam hari, mengi, dan dada terasa berat.

Berdasarkan data dalam Studi Global Burden of Disease (GBD) pada tahun 2019 diperkirakan terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, dengan faktor penting di mana inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit.

Di Indonesia hingga saat ini masih banyak sekali pasien asma cenderung memilih untuk menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan dengan inhaler dengan kandungan ICS (anti-inflamasi melalui inhaler).

“Berdasarkan studi SABINA (SABA Use in Asthma) menunjukkan bahwa 37 persen pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega SABA kurang dari atau sama dengan tiga kanister per tahun, justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih parah,” katanya.

Baca juga: PDPI: 12 juta penduduk Indonesia menderita asma

Menurut dia, banyak pasien menilai SABA dapat memberi efek lega secara cepat, dan telah menjadi lini pertama terapi asma sejak lama. Namun, karena kurangnya pengobatan terhadap kondisi peradangan yang mendasarinya, hal tersebut justru menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar terhadap serangan asma sebab penggunaan SABA secara teratur dapat mengurangi manfaatnya.

“Penggunaan SABA yang rutin walaupun hanya satu atau dua minggu saja bisa menyebabkan efek obat menurun dan justru meningkatkan penggunaan obat. Perlu diketahui bahwa SABA tidak memiliki efek anti-inflamasi, tetapi SABA hanya melebarkan saluran pernapasan sehingga menimbulkan efek lega sesaat,” ujarnya.

Terlebih lagi penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, serta berisiko mengalami rawat inap atau rawat jalan karena asma yang memburuk. Bahkan kemungkinan terburuknya pasien bisa mengalami kematian.

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap SABA, ia menjelaskan pasien asma harus mendapatkan pengobatan yang mengandung ICS yakni sebuah obat antiradang atau anti-inflamasi, contohnya berupa kombinasi ICS-Formoterol untuk mengurangi risiko serangan asma.

Baca juga: PDPI: Olahraga bertahap bantu pasien asma perbaiki kualitas hidup

“Pasien asma juga dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat, bukan hanya mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul," katanya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023