Jakarta, 16/1 (ANTARA) -  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus memacu ekspor produk-produk olahan rumput laut bernilai tambah tinggi dalam bentuk produk ATC (Alkali Treated Cotonii), SRC (Semi Refine Caraginan), dan RC (Refine Caraginan). Untuk memacu kinerja ekspor tersebut, KKP mendorong percepatan hilirisasi industri rumput laut. Langkah hilirisasi, akan berdampak pada penguatan struktur industri di dalam negeri, peningkatan nilai tambah, perluasan lapangan kerja, terpenuhinya pasar dalam negeri serta meningkatnya ekspor olahan rumput laut.  Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C.Sutardjo ketika meluncurkan penyelenggaraan  International Seaweed Symposium (ISS) di Jakarta, Rabu (16/1).

     Sharif mengatakan, pengembangan dan penguatan industri rumput laut, memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) tinggi, sebabnya Indonesia memiliki sumber daya dan keragaman rumput laut yang melimpah. Industrialisasi rumput laut tidak hanya sebatas untuk meningkatkan devisa negara, tetapi juga untuk memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi pembudidaya rumput laut yang umumnya merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Industrialisasi rumput laut berperan strategis, sebabnya industri ini memiliki keterkaitan dengan sektor - sektor lainnya, baik keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke depan (forward linkage). Selain itu, upaya  tersebut dapat menekan ekspor bahan baku (raw material) rumput laut Indonesia hingga mencapai kisaran 75-80 persen serta mengurangi ketergantungan impor karagenan sebesar 1.320 ton. "Sebagai bahan baku industri, rumput laut memiliki lebih dari 500 end product. Permintaan akan produk olahan komoditas ini sangat dibutuhkan oleh industri, baik pangan maupun non pangan," sambung Sharif.

     Karena itu lanjutnya, guna mendorong pengembangan hilirisasi rumput laut, KKP telah menggulirkan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan dengan menempatkan rumput laut sebagai komoditas utama, bersanding dengan komoditas TTC (Tuna Tongkol Cakalang), udang, bandeng, dan patin.  Pasalnya, industrialisasi rumput laut merupakan suatu kegiatan yang terintegrasi antara pengelolaan budidaya, ketersediaan bibit, sosial ekonomi, penanganan pasca panen, permodalan sampai dengan pemasaran. Kegiatan yang berbasiskan pada industri bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan skala produksi yang berdaya saing sehingga pada pelaksanaannya melibatkan banyak pihak dan unit kerja, baik pemerintah maupun swasta.

     Sekedar catatan, Indonesia memiliki sumber daya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis, Di samping itu, potensi budidaya laut di Indonesia terbilang cukup besar, termasuk area untuk budidaya rumput laut yang diperkirakan mencapai 1.110.900 ha. Dengan kata lain, Indonesia telah menempatkan diri sebagai negara penghasil rumput laut terbesar di dunia dengan produksi sebesar 5,17 juta ton pada 2011. Oleh karena itu, pada 2014 Indonesia telah menargetkan produksi basah rumput laut sebanyak 10 juta ton atau dalam bentuk produksi kering sebanyak 1 juta ton. Bersandar dari hal tersebut, maka rumput laut menjadi salah satu komoditas utama di dalam bingkai kebijakan industrialisasi perikanan

     Sebagai informasi, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara International Seaweed Symposium (ISS) ke-21 yang dilaksanakan International Seaweed Association (ISA) pada 21 April hingga 26 April 2013. Kegiatan ISS meliputi symposium, exhibition yang diikuti oleh stand dari luar negeri dan daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan rumput laut, business matching dan kunjungan lapang  (lokasi Pantai Pandawa, Nusa Lembongan, Tari Barong di Kintamani, Mengwi, Bedugul, Alas Kedaton dan Tanah Lot).

     Pelaksanaan ISS dikelola oleh International Seaweed Association (ISA) dan diperkirakan kegiatan ini akan dihadiri sekitar 600 orang peserta, dari 60 negara anggota ISA,  yang berasal dari  kalangan ilmuwan, pakar teknologi, pebisnis dan para pemerhati rumput laut di seluruh dunia. International Seaweed Symposium (ISS) merupakan pertemuan ilmiah dan bisnis yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali untuk mempresentasikan hasil penelitian terbaru, bertukar pikiran dan informasi serta  mengembangkan sinergi rumput laut. Kegiatan ini pertama kali diadakan di Edinburgh, Inggris pada tahun 1952 dan terakhir pada tahun 2010 di Ensenada, Mexico.

     ISS bertujuan a.l, mengeksplorasi Ilmu dan teknologi hasil penelitian/kajian ilmiah dari berbagai lembaga penelitian rumput laut dunia, untuk pengembangan industri rumput laut di Indonesia, memberikan peluang usaha bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil penelitian/kajian ilmiah untuk pengembangan industri rumput laut, memfasilitasi forum bisnis rumput laut untuk pengembangan kerjasama usaha rumput laut guna mendorong kerjasama investasi rumput laut, dan  memperluas akses pasar dan jaringan usaha rumput laut di dunia. Sedangkan terdapat tiga sasaran utama dari terselenggaranya kegiatan ISS. Pertama, terimplementasinya ilmu dan teknologi  hasil penelitian/kajian ilmiah dengan pengembangan industri rumput laut di dunia, khususnya bagi industri di Indonesia. Kedua,terjalinnya kemitraan antara penemu, produser, buyer dan investor rumput laut, dan terakhir, terciptanya jaringan usaha dan akses pasar rumput laut untuk pencapaian target nilai ekspor.

     Penyelenggaraan ISS kali ini  mengusung tema "Seaweed Science for Sustainable Prosperity". Tema ini menunjukkan bahwa penelitian ilmiah memainkan peranan penting dalam pengembangan rumput laut secara
berkelanjutan baik dari sisi pembibitan, budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan  maupun pemasaran bertujuan untuk  kemakmuran rakyat.

     Untuk keterangan lebih lanjut silakan menghubungi Indra Sakti, SE, MM, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi,Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0818159705)



Pewarta: Masnang
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2013