jika sepak bola kita ingin berjaya, maka kita harus melakukan tindakan berani, salah satunya berani membubarkan KPSI-PSSI.
Jakarta (ANTARA News) - Mana lebih dulu ada, telur atau ayam? Silakan menjawab dengan lantang, ayam! Bagaimana mungkin telur ada, bila tidak ada lebih dulu ayam.

Dan Sang Pencipta tertawa, karena ayam punya keberanian untuk bertelur, untuk mengambil keputusan sebagai ayam yang bebas merdeka.

Dan Tuhan tertawa lagi, karena kisruh sepak bola menerpa Indonesia, antara membubarkan atau tidak membubarkan KPSI-PSSI? Mana lebih dulu perlu dibubarkan, KPSI atau PSSI atau justru dua-duanya?

Kalau suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox populi, vox Dei), maka Tuhan bersama rakyat akan tertawa bila kisruh KPSI-PSSI tidak kunjung usai. Pilihannya, berani atau tidak berani membubarkan KPSI-PSSI. Dan keberanian itu seakan kini mengetuk hati Menpora Roy Suryo.

Seperti sebuah pesta nikah yang tiba-tiba gaduh oleh kedatangan serombongan orang gila yang tidak diundang, kerapkali keberanian mengambil keputusan juga nyerempet aksi orang gila.

Meja pesta nikah akan porak poranda oleh aksi teriak sana-sini dari rombongan orang gila. Meja pesta dari kisruh KPSI-PSSI segera bongkar-bangkir ketika Roy sebagai Menpora menerobos pesta nikah kemudian mengambil pengeras suara seraya mengumumkan di hadapan masyarakat bola nasional bahwa, "pesta telah usai."

Dan Tuhan tertawa setelah melihat aksi Menpora, karena Roy berani mengatakan bahwa ayam lebih dulu ada daripada telur.

Lagi-lagi, Roy berani. Berani, tidak dengan disertai tanda kurung. Berani sebagai suatu pilihan mengakhiri dualisme KPSI-PSSI , meskipun di awal penjelasannya mengenai tugasnya itu, ia berulangkali mengutip pernyataan filsuf Yunani Sokrates bahwa "kita semua sebenarnya tidak tahu apa-apa".

Catat saja, bahwa Sokrates menghardik bahkan mencibir mereka yang menganggap dirinya tahu. Sokrates akan mengajak dialog kepada orang yang menganggap dirinya tahu agar ia tahu bahwa sesungguhnya ia tidak tahu apa-apa.

Yang disebut pengetahuan, entah itu kisruh KPSI-PSSI atau dualisme organisasi sepak bola, hanyalah "jalan" yang tidak pernah definitif.

Mengapa Roy berani dengan disertai tanda kurung? "Yang paling krusial itu masalah PSSI, saya tidak punya kepentingan dengan dua tokoh itu. Insya Allah bisa dibereskan, saya jelaskan, pembubaran termasuk salah satu pilihan," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

"FIFA memberi target sebelum 16 Maret sudah harus selesai. Yang satu mengaku de jure, sementara KPSI mengaku de facto; ini harus diselesaikan," katanya juga.

Di balik sengkarut KPSI-PSSI - karena yang satu mengaku de jure, yang lain mengaku de facto - para pecinta sepak bola Indonesia jelas-jelas ingin menenggak pil kemenangan, bukan pil kekalahan. Kalau kebenaran adalah jalan yang tak pernah selesai, maka kemenangan adalah buah dari kebenaran.

Bagaimana mungkin tim sepak bola akan menang, bila tidak ada langkah yang benar dari organisasi sepak bola? Bagaimana mungkin perusahaan anda akan menang di segala lini perjuangan bisnis, bila langkah yang diambil dapat diteror karena ada banyak hal yang tidak benar ditelaah secara nalar?

Nalarnya, baik KPSI maupun PSSI hanyalah bidan yang membantu proses persalinan bagi masyarakat pecinta bola nasional agar lahir kemenangan demi kemenangan.

Yang ada sekarang, justru wajah ganda yang ironis dan misterius, yang ada sekarang wajah blasteran. Adalah tugas Menpora memberi kejelasan agar tidak terus main blaster-blasteran, atau KPSI atau PSSI, atau justru bukan keduanya.

Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan kepada Menpora agar bekerja sama dengan KOI dan KONI untuk segera mengakhiri permasalahan di kepengurusan PSSI.

"Bisa konsultasi dengan baik dengan FIFA dan semua pencinta sepak bola. Rakyat akan sangat marah kalau prestasi sepak bola terganggu dan kandas karena konflik kubu-kubu tertentu dalam persepakbolaan kita," kata Presiden saat mengumumkan pejabat Menpora definitif pengganti Andi Mallarangeng, Jumat (11/1), di Istana Negara, Jakarta.

Ketika merespons ketegasan Presiden itu mengenai keprihatinan sepak bola nasional, Roy yang awalnya mengaku tidak tahu apa-apa, seakan tersengat oleh pernyataan "rakyat akan sangat marah kalau prestasi sepak bola terganggu dan kandas" langsung mengambil langkah sebagai bidan bagi kelahiran sepak bola nasional.

Menpora bersegera menuntaskan kemelut PSSI dengan menemui Nirwan Bakrie dan Arifin Panigoro, yang banyak disebut dan dianggap sebagai tokoh penting dalam penyelesaian kisruh PSSI.

"Kita semua tahu bahwa dua tokoh itu adalah dua pengusaha besar yang memang kemudian bermain di situ. Saya kira semua orang sudah tahu lah, saya akan mengundang beliau-beliau itu ke kantor kalaupun tidak akan lobby beliau, kalau perlu saya akan datang ke beliau-beliau itu," katanya.

Keberanian Roy dilatarbelakangi oleh nalar, bahwa "saya mungkin berpikir bahwa X adalah hal yang paling ingin saya lakukan. Jika akhirnya, saya melakukan Y, maka Y juga sebenarnya bisa menjadi hal yang paling ingin juga saya lakukan."

Dalam sorot kemelut KPSI-PSSI, Roy bernalar, "saya mungkin berpikir bahwa membubarkan KPSI-PSSI adalah hal yang paling ingin saya lakukan. Jika akhirnya, saya tidak membubarkan KPSI-PSSI, maka tindakan itu sebenarnya bisa menjadi hal yang paling ingin juga saya lakukan."

Nalar Roy itu tidak berlaku di hadapan rakyat yang akan sangat marah kalau prestasi sepak bola terganggu dan kandas, karena rakyat punya nalar bahwa jika kita ingin mendapat hasil X, kita harus melakukan tindakan Y.

Dengan nalar itu, jika sepak bola kita ingin berjaya, maka kita harus melakukan tindakan berani, salah satunya berani membubarkan KPSI-PSSI.

Jika anda ingin berhasil dalam ujian, maka anda harus belajar dengan rajin. Jika perusahaan anda ingin mendapat profit, maka anda harus terus belajar dan bekerja mendapat profit.

Tindakan adalah sarana bagi tujuan, bertindaklah, bertindaklah dan bertindaklah. Inilah keberanian khas Roy untuk menyelesaikan dualisme organisasi sepak bola Indonesia.

Implikasinya, ketika Menpora membuat janji kepada masyarakat sepak bola nasional, maka ia mempunyai komitmen untuk menepati janji. Orang wajib berkomitmen dalam melakukan sesuatu. Mengingkari komitmen sama artinya beromong kosong. Inilah nalar pecinta sepak bola nasional.

Hati pecinta sepak bola Indonesia terkoyak, nalar fans Indonesia ternista, manakala timnas Indonesia ditekuk 0-10 oleh Bahrain dalam kualifikasi Piala Dunia pada Februari lalu. Dan FIFA meneropong kekalahan itu sebagai aneh bin ajaib. Ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Roy.

Selain itu, agar sepak bola nasional tidak kebablasan aneh bin ajaib, mantan Menpora, Andi Alfian Mallarangeng punya pernyataan bernuansa berani.

"Kalau kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan, pemerintah harus turun tangan...Poin-poin sudah jelas, semoga segera ada penyelesaian tanpa ada sanksi dari FIFA. Tetapi tetap harus bersiap-siap dengan yang terburuk," katanya.

Apa yang harus dilakukan Roy agar berani, berani dan berani? Filsuf Cina Lao Zi menyampaikan keyakinan, bahwa yang lemah mampu mengalahkan yang kuat dan yang lembut mampu menaklukkan yang keras.

Dalam kisruh KPSI-PSSI, orang cenderung menggunakan kekerasan dan kekuatan (power) untuk menaklukkan dan mengalahkan pihak yang lemah. Inilah nalar yang digunakan baik KPSI maupun PSSI. Ini yang dihadapi Roy jika ia berani berkomitmen bagi nalar pecinta sepak bola nasional.

Nalar pecinta sepak bola ada dua. Pertama, "yang lemah dapat mengalahkan yang kuat, dan yang lunak mampu menaklukkan yang keras". Kedua, "yang kuat dapat mengalahkan yang lemah dan yang keras dapat menaklukkan yang lunak."

Tunggu apa lagi, tunggu rakyat marah kalau prestasi sepak bola terganggu dan kandas. Menpora yang berani adalah Menpora yang berkomitmen.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013