Bangkok (ANTARA) - Dua partai oposisi utama Thailand pada Senin sepakat untuk membentuk koalisi pemerintahan setelah menang besar di pemilu, mengalahkan partai dukungan militer yang telah menguasai pemerintahan selama hampir satu dekade.

Partai Move Forward dan Pheu Thai mendominasi pemilu pada Minggu (14/5) tetapi berpotensi menghadapi tantangan dalam mengumpulkan dukungan yang cukup karena aturan parlemen yang dirancang oleh militer setelah kudeta tahun 2014 cenderung menguntungkan para sekutu militer.

Aliansi kedua partai itu harus memastikan upaya pembentukan pemerintah baru tidak akan terhalang oleh Senat yang ditunjuk junta, yang dapat memberikan suara untuk pemilihan perdana menteri dalam sidang bikameral dengan 750 anggota legislatif, serta memiliki catatan mendukung partai konservatif yang dipimpin para jenderal.

Pita Limjaroenrat, pemimpin partai Move Forward, mengajukan pembentukan aliansi yang terdiri dari enam partai yang akan memimpin 309 kursi dengan dirinya sendiri menjadi perdana menteri.

Jumlah tersebut kurang dari 376 kursi yang dibutuhkan untuk memastikan dia terpilih menjadi perdana menteri.

Ketika ditanya perihal Senat, ia mengatakan semua pihak harus menghargai hasil pemilu dan tidak ada gunanya menentangnya.

"Saya tidak khawatir, tetapi saya tidak lengah," katanya di sebuah konferensi pers.

"Harga yang harus dibayar akan cukup besar jika seseorang berpikir untuk menolak hasil pemilu atau membentuk pemerintahan minoritas," tambahnya.

Pheu Thai, yang berada di bawah kendali keluarga miliarder Shinawatra, menyetujui usulan Pita dan berharap dia sukses dalam upayanya menjadi perdana menteri.

Partai tersebut telah memenangkan paling banyak kursi di setiap pemilu pada abad ini, termasuk meraih dua kemenangan telak.

Meski demikian, Pheu Thai telah bertemu tandingannya, Move Forward, yang hampir menyapu Bangkok dan mencatat peningkatan dukungan di beberapa wilayah pendukung Pheu Thai dan partai konservatif.

Menurut Pita, Move Forward akan melanjutkan rencananya mengubah hukum lese majeste yang melarang penghinaan terhadap monarki, yang menurut para kritikus telah digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Istana Thailand tidak mengomentari undang-undang tersebut atau penggunaannya.

Ia mengatakan parlemen akan menjadi forum yang tepat untuk mengupayakan amendemen aturan tersebut atau pasal 112 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) setempat.

Ketika ditanya mengenai apakah Pheu Thai akan mendukung langkah tersebut, Paetongtarn Shinawatra, salah satu kandidat utama partai itu, mengatakan bahwa hal itu akan didiskusikan di parlemen.

"Pheu Thai memiliki pendirian yang jelas bahwa kami tidak akan menghapus 112, tetapi diskusi tentang hukum tersebut bisa dilakukan di parlemen," katanya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Pembela kerajaan Thailand bentuk parpol lindungi monarki
Baca juga: Bagi seniman Thailand, protes membawa kebangkitan politik

Penerjemah: Raka Adji
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023