JAKARTA (ANTARA) - Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana otot jantung terluka karena sesuatu seperti serangan jantung atau tekanan darah tinggi dan secara bertahap kehilangan kemampuan memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Kondisi itu menyebabkan retensi cairan ekstra dalam tubuh yang menimbulkan penyumbatan, seperti dipaparkan dalam artikel yang dirilis Medical News Today, Jumat.

Meskipun saat ini tidak ada obat untuk gagal jantung, penelitian telah memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih baik mengenai hal itu.

Studi telah menunjukkan bahwa bagian tubuh tertentu yang disebut kemoreseptor perifer (pengatur pernapasan) dapat menjadi hiperaktif pada orang dengan gagal jantung, menyebabkan gagal jantung yang memburuk dan masalah seperti sleep apnea, suatu kondisi di mana pernapasan berhenti dan dimulai kembali berkali-kali, selama tidur.

Salah satu kemoreseptor perifer ini adalah bagian karotis, sekelompok sensor di dekat arteri karotis di tenggorokan. Menanggapi berkurangnya aliran darah dan sirkulasi oksigen, sensor memicu pernapasan cepat dan peningkatan tekanan darah dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik ("fight-or-flight").

Baca juga: Anak muda bisa alami gangguan jantung

Seorang profesor fisiologi translasi di University of Auckland (Waipapa Taumata Rau), Selandia Baru, Julian F.R. Paton, PhD., menjelaskan bahwa sinyal saraf simpatik ini “baik saat seseorang perlu mempercepat detak jantung dan melarikan diri dari situasi yang mengancam, tetapi, merusak pada gagal jantung, mengurangi aliran darah ke jantung dan menebalkan serta membuat otot jantung kaku, sehingga memperburuk kinerjanya sebagai pompa.”

Para peneliti telah menemukan bahwa menghilangkan bagian karotis dapat meningkatkan fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada tikus dan manusia dengan gagal jantung. Namun, pendekatan itu mungkin memiliki risiko dan dapat mengganggu fungsi tubuh yang penting.

Dalam studi baru yang diterbitkan di Nature Communications, Paton dan rekan penelitinya mencari cara untuk mengurangi aktivitas simpatis yang merusak dari tubuh karotis dengan menggunakan obat alih-alih membuangnya.

Mengurangi gagal jantung dan sleep apnea

Para peneliti dalam sebuah eksperimen memberi tikus obat yang disebut AF-130, yang memblokir reseptor P2X3 dan menghentikan semburan aktivitas saraf.

Sebelum percobaan, tikus yang mengalami gagal jantung memiliki pola pernapasan yang cepat dan tidak teratur serta mengalami apnea (yang berarti terkadang berhenti bernapas sama sekali). Perawatan AF-130 memulihkan pola pernapasan normal pada tikus dengan gagal jantung dan menurunkan jumlah episode apnea.

Baca juga: Peneliti University of Technology Sydney kembangkan metode pengobatan gagal jantung yang penuh terobosan

AF-130 juga meningkatkan fungsi jantung pada tikus dengan gagal jantung. Dibandingkan dengan tikus yang tidak menerima obat, tikus yang menerima obat memiliki fraksi ejeksi yang lebih tinggi, stroke volume yang lebih tinggi, hipertrofi jantung (penebalan otot jantung) yang berkurang, dan edema paru (kelebihan cairan di paru-paru) yang berkurang.

Selain itu, pengobatan AF-130 mengurangi kadar protein yang disebut N-terminal pro-B-type natriuretic peptide, yang merupakan penanda gagal jantung.

Pada tikus dengan gagal jantung, terjadi peningkatan sel pembunuh alami (sejenis sel kekebalan) dengan perkembangan gagal jantung. Pengobatan dengan AF-130 mencegah peningkatan itu.

AF-130 juga mengurangi kadar sitokin interleukin (IL) -1β inflamasi, menunjukkan bahwa obat tersebut berpotensi mengurangi peradangan.

Baca juga: Dokter : Waspada penyakit jantung mulai menghantui kelompok milenial

Para peneliti melaporkan bahwa AF-130 mengurangi tingkat aktivitas simpatik, yang meningkatkan kontraktilitas otot jantung. Paton mencatat obat itu juga mengurangi peradangan, yang juga meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan aliran darah ke jantung.

Lebih lanjut, kata dia, menghentikan ketidakstabilan pernapasan, yang dapat menurunkan kadar oksigen di jantung dan mempercepat perkembangan gagal jantung.

Profesor kardiologi di University of Washington Dr. Douglas L. Mann, yang tidak terlibat dalam studi tersebut, menilai hasil yang ditunjukkan dalam studi tersebut "masuk akal", namun, "masih ada banyak hal yang harus dilakukan sebelum konsep itu bisa diajukan menjadi uji coba klinis untuk mengatasi gagal jantung".

Sementara itu, lektor kepala di Nova Southeastern University Tassor Lymperopoulus PhD., yang juga tidak terlibat dalam studi, menilai hasil studi tersebut masih perlu diperhatikan lagi apakah bisa menangani gagal jantung pada manusia. 

Baca juga: Kenali gejala gagal jantung pada masa kehamilan

Baca juga: Waspada gagal jantung jika sesak nafas disertai mudah lelah


Penerjemah: Siti Zulaikha
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023