Jakarta (ANTARA) - Pakar Onkologi Prof Zubairi Djoerban mengemukakan deteksi dini menjadi kunci pengobatan yang optimal serta menekan risiko keparahan pasien kanker payudara.

"Masyarakat harus paham dan mau untuk diskrining bila mendapat gejala awal yang mengarah pada kanker payudara agar pengobatan lebih bagus," kata Zubairi Djoerban dalam Seminar Kanker Payudara di RS Kramat 128, Jakarta Pusat, Senin.

Ia mengatakan kanker menjadi penyakit pembunuh yang paling banyak memakan korban jiwa di kalangan perempuan Indonesia, sehingga upaya penanganannya pun perlu menjadi perhatian khusus pemerintah maupun masyarakat.

Kanker payudara menempati urutan pertama kanker terbanyak di Indonesia serta menjadi penyumbang kematian pertama akibat kanker.

Baca juga: Edukasi dan deteksi dini turunkan angka kanker payudara stadium lanjut

Data Globocan tahun 2020, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6%) dari total 396.914 kasus baru di Indonesia. Jumlah kematiannya mencapai lebih dari 22 ribu jiwa.

Zubairi mengatakan salah satu metode mudah yang bisa dilakukan untuk mendeteksi kanker payudara bisa dengan pemeriksaan payudara sendiri (Sadari) dan pemeriksaan payudara klinis (Sadanis).

Sadari atau pemeriksaan yang direkomendasikan sejak perempuan berusia 20 tahun dengan dilakukan sendiri di rumah setiap bulannya.

Sedangkan Sadanis adalah pemeriksaan payudara klinis yang dilakukan oleh dokter yang kompeten.

Zubairi yang juga penemu kasus pertama, sekaligus pionir penanganan HIV dan AIDS di Indonesia itu mengatakan deteksi dini kanker payudara dapat membantu tim medis dalam menentukan metode pengobatan yang optimal untuk menekan laju kematian pasien.

"Walaupun sudah memasuki stadium 4, walau menyebar ke tulang di usia lebih dari 40 tahun, pasien masih bisa diobati," katanya.

Baca juga: Kemenkes: 70 persen kematian akibat kanker ada di negara berkembang

Menurut Zubairi, penyebab kanker payudara dapat dipicu kondisi fisik yang kurang gerak, obesitas, hingga faktor genetik dari keluarga. Bahkan, mereka yang tidak memiliki keturunan pengidap kanker payudara pun bisa terkena.

"Penelitian menyebutkan risiko kanker 11 persen kalau tidak ada riwayat keluarga yang kena kanker payudara," katanya.

Zubairi mengatakan salah satu pemicunya adalah mutasi genetik seperti yang dialami aktris Angelina Jolie dengan risiko kanker payudara berkisar 75 persen. "Akhirnya dia pilih payudaranya dioperasi," katanya.

Selain faktor genetik, zat Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum mineral yang terpapar suhu panas juga memiliki hubungan kuat dengan kanker payudara.

Baca juga: Kenali gejala dan tanda kanker payudara

Baca juga: Pakar hematologi onkologi: USG payudara diarahkan pada wanita muda


"Ada penelitian zat BPA menyebabkan kanker. Lebih mudah terpapar kalau botolnya terpanaskan atau sering terpapar panas, tapi levelnya belum ada, hasil penelitian ada hubungan kuat BPA dengan kanker payudara," katanya.

Meski risiko kematian lebih meningkat pada usia lanjut, kata Zubairi, metode pengobatan saat ini masih bisa menyembuhkan pasien selama deteksi penyakit dilakukan lebih dini dan pengobatan dilakukan dengan tepat.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023