kalau dulu saat masih di `piti` kecil, kenyataannya banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi."
Banyumas (ANTARA News) - "Subosito bujokromo podho baliyo marang piwulang budi pakerti luhur", kalimat ini tertulis dalam salah satu lembaran daun lontar yang tersimpan di Langgar Jimat Kalisalak Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Banyumas.

Meskipun tidak terlalu jelas, Gusti Kanjeng Ratu Alit dan Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Sosronegoro berupaya membaca tulisan dengan aksara Jawa Kuna dan menerjemahkan dalam Jawa modern agar mudah dimengerti oleh masyarakat.

"Ini sebuah keajaiban karena dua lembar daun lontar ini diambil oleh juru kunci Langgar Jimat Kalisalak, Ki Mad Daslam, dari tempat terpisah. Namun tulisan dalam dua daun lontar ini memiliki kesamaan makna," kata KPH Adipati Sosronegoro saat mencoba menafsirkan makna tulisan dalam daun lontar itu pada acara Jamasan Jimat Kalisalak, Jumat.

Menurut dia, daun lontar bertuliskan "subosito bujokromo podho baliyo marang piwulang budi pakerti luhur" mengandung makna ajakan untuk kembali kepada ajaran budi pekerti yang luhur.

Manusia diajak untuk beperilaku yang baik, bijaksana, dan manusiawi dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara tulisan yang dapat terbaca dalam lembaran lontar kedua, yakni "pakerti mrih rahayu".

Menurut Sosronegoro, tulisan ini mengandung makna perbuatan yang membawa ketenteraman. Dengan demikian jika dua tulisan dalam daun lontar ini digabungkan, kata dia, mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana, dan manusiawi akan membawa ketenteraman dalam kehidupan sehari-hari.

"Jika tidak ingin disakiti, janganlah menyakiti orang lain," katanya.

Jamasan Jimat Kalisalak merupakan tradisi tahunan yang digelar setiap bulan Maulud berdasarkan hitungan Aboge (Alif Rebo Wage).

Oleh karena merupakan tahun Jim Akhir, prosesi jamasan digelar pada Jumat Wage yang jatuh pada 25 Januari 2013.

Konon, benda-benda pusaka yang dijamas merupakan peninggalan Amangkurat I yang ditinggalkan di Desa Kalisalak agar tidak membebani perjalanannya menuju Batavia.

Amangkurat I menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677.

Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.

Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Benda-benda peninggalan Amangkurat I hingga saat ini tersimpan di Langgar Jimat Kalisalak dan dijamas setiap bulan Maulud sebagai upaya untuk membersihkannya dari kotoran.

Prosesi jamasan di Langgar Jimat Kalisalak ini selalu mendapat perhatian dari masyarakat untuk menyaksikannya karena mereka meyakini fenomena yang muncul dalam penjamasan ini sebagai suatu pertanda zaman.

Salah satu pengunjung dari Sampang, Kabupaten Cilacap, Fajar (40) mengaku sering menyaksikan penjamasan benda-benda pusaka peninggalan Raja Mataram Amangkurat I yang tersimpan di Langgar Jimat Kalisalak ini.

"Hampir setiap kali jamasan, saya pasti datang karena ingin melihat berbagai fenomena yang muncul dalam penjamasan, salah satunya jumlah mata uang yang kadang bertambah dan kadang pula berkurang," katanya.

Menurut dia, fenomena tersebut sering kali diyakini sebagai pertanda zaman.

Dalam hal ini, dia mencontohkan adanya "jenu" (akar yang memabukkan, red.) di tempat penyimpanan uang.

"Itu terjadi pada jamasan 2011 silam. Kalau kita perhatikan, selama 2011-2012 banyak pejabat yang dihukum karena terjerat kasus korupsi," katanya.

Juru bicara Langgar Jimat Kalisalak, Ilham Triyono mengakui, fenomena yang muncul dalam prosesi jamasan ini sering kali diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pertanda zaman.

Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya enggan menafsirkan secara gamblang makna dari fenomena-fenomena tersebut.

"Biarlah masyarakat yang menafsirkannya sendiri," kata dia menambahkan.

Menurut dia, salah satu fenomena yang muncul dalam jamasan kali ini berupa "jenu" yang semula tersimpan di "piti" (wadah dari anyaman bambu, red.) berukuran kecil dan berisi kepingan uang kuno, pindah ke "piti" yang ukurannya lebih besar yang juga berisi uang.

Padahal, kata dia, pihaknya sama sekali tidak memindah "jenu" tersebut ke dalam "piti" besar.

"Silakan ditafsirkan sendiri, kalau dulu saat masih di `piti` kecil, kenyataannya banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi. Kalau sekarang berada di dalam `piti` besar, apakah kasus korupsi akan semakin meluas," katanya.

Selain itu, kata dia, 60 keping uang benggol yang semula berada dalam satu ikatan, saat jamasan kali ini terlepas dari ikatan.

"Kami sulit menafsirkannya, apakah ini pertanda akan banyak kucuran kredit atau yang lainnya," kata dia menambahkan.

Bahkan dalam jamasan kali ini, muncul sebuah benda yang sebelumnya tidak ditemukan setiap penjamasan.

Benda tersebut berupa "lis" yang biasa dipasang pada kanan dan kiri mulut kuda agar bisa dikendalikan saat menarik delman.

Akan tetapi, "lis" tersebut hanya ditemukan satu buah.

Salah satu kerabat Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Haryo Kusumo alias Yatman mencoba menafsirkannya dengan melihat kondisi negara saat ini.

"Kalau ada dua (sepasang, red.), dapat ditafsirkan semua permasalahan dapat dikendalikan, tapi ini hanya ada satu," katanya.

Sementara KPH Adipati Sosronegoro menafsirkan munculnya sebuah "lis" kuda tersebut sebagai peringatan agar masyarakat waspada terhadap sesuatu yang kemungkinan tidak bisa dikendalikan.

Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat maupun para pejabat untuk bisa mengendalikan diri sehingga dapat tercipta ketenteraman.

Penjamasan benda-benda pusakan tersebut dilakukan dengan jeruk nipis serta sinar matahari, dan beberapa jimat dijamas menggunakan air yang diambil dari sumur Tegal Arum, di Slawi, Kabupaten Tegal.

Konon, Amangkurat I menggunakan air sumur Tegal Arum untuk menjamas pusakanya secara pribadi saat dalam perjalanan ke Batavia.

Setelah selesai dijamas, benda-benda pusaka tersebut dibungkus dengan kain mori yang masih baru, selanjutnya dimasukkan ke dalam langgar dan akan dikeluarkan kembali pada prosesi jamasan tahun berikutnya.

Kepala Desa Kalisalak Setiaji mengatakan, prosesi jamasan berikutnya jatuh pada hari Rabu Wage di bulan Maulud karena bertepatan dengan tahun Alif.

"Rabu Wage jatuh pada 15 Januari 2014," katanya.

Menurut dia, rangkaian kegiatan jamasan tahun depan direncanakan dimulai pada H-1 penjamasan yang akan diisi dengan pergelaran pesta seni rakyat. Dengan demikian, dia mengharapkan, kegiatan tersebut dapat semakin meriah.

(KR-SMT/Z003)

Oleh Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013