Mali adalah salah satu krisis kemanusiaan paling besar yang kami tangani hari ini."
Zurich (ANTARA News) - Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengungkapkan kekhawatiran yang dalam atas situasi kemanusiaan di Mali, dimana pasukan yang dipimpin Prancis melancarkan ofensif untuk menumpas militan garis keras di wilayah utara selama dua pekan ini.

"Mali adalah salah satu krisis kemanusiaan paling besar yang kami tangani hari ini," kata Ketua ICRC Peter Maurer kepada surat kabar Swiss SonntagsZeitung dalam wawancara yang diterbitkan Minggu, lapor AFP.

"Keadaan itu membuat kami sangat khawatir. Ribuan orang dan keluarga mengungsi ke negara-negara tetangga sejak meletusnya perang dan sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan," katanya.

ICRC memusatkan upayanya di wilayah utara negara itu, dimana mereka memberikan makanan kepada 500.000 orang dan telah membangun 10 pusat kesehatan.

"Karena meningkatnya kekerasan dan banyaknya kelompok berbeda yang terlibat dalam konflik, pekerjaan itu sangat sulit bagi kami," kata Maurer.

Jumat, Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan di Jenewa, 9.000 orang mengungsi ke negara-negara tetangga sejak pasukan pimpinan Prancis melancarkan serangan terhadap kelompok garis keras di Mali utara.

Menurut UNHCR, jumlah pengungsi di kawasan itu kini melampaui 150.000, sementara sekitar 230.000 orang terlantar di dalam wilayah Mali.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia.

Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013