Perburukan dari penyakit kronik, misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh,
Jakarta (ANTARA) - Pakar ilmu kesehatan dari Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan informasi  banyaknya warga Jakarta yang mengeluh batuk akibat polusi udara di Ibukota tersebut perlu didukung data.

"Polusi udara memang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai kota di berbagai belahan dunia. Malahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sekitar 90 persen anak di dunia hidup dalam lingkungan yang kadar polusi udaranya melebihi ambang batas," kata Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan kemungkinan dampak polusi udara pada kesehatan, dapat memicu penyakit infeksi akut, seperti ISPA dalam bentuk radang tenggorok, bronkitis dan lainnya.

"Perburukan dari penyakit kronik, misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu juga pasien penyakit paru obstruktif kronik akan lebih mungkin eksaserbasi (perburukan gejala pernapasan yang akut)," katanya.

Jika polusi udara terjadi terus menerus selama bertahun-tahun dan berkepanjangan, kata Tjandra, maka secara teoritis dapat saja menimbulkan penyakit paru kronik.

"Tetapi kan kenyataannya polusi udara akan berfluktuasi, kadang-kadang buruk dan lalu membaik, jadi yang terjadi bukanlah dampak berkepanjangan," katanya.

Dampak polusi udara menyebabkan paru kronik hingga kanker paru bukanlah terjadi akibat polusi udara yang memburuk hanya dalam beberapa hari atau pekan saja seperti sekarang ini, kata Tjandra menambahkan.

"Dalam ilmu kesehatan masyarakat ada kegiatan surveilans yang dilakukan secara rutin, sehingga harusnya kita punya data tentang berapa jumlah kasus penyakit paru dan pernapasan pada bulan Maret 2023, lalu berapa bulan April, Mei dan Juni sekarang ini, untuk memastikan informasi ada tidaknya peningkatan kasus," katanya.

Di Australia misalnya, tersedia data bahwa pada masa kebakaran semak-semak maka terjadi peningkatan angka masuk IGD akibat keluhan sesak napas di lokasi itu. "Data sejelas itu harusnya juga tersedia di negara kita," katanya.

Tjandra yang juga menjabat sebagai Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI mengatakan ada tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat sehubungan dengan sedang tingginya kadar polusi di udara.

Pertama, sedapat mungkin membatasi aktifitas fisik berat di daerah dengan polusi udara sedang tinggi, misalnya di jalan macet dan lainnya.

Untuk masyarakat yang punya penyakit kronik pernapasan dan lainnya, maka harus rutin mengonsumsi vitamin sesuai kebutuhan.

"Kalau ada perburukan dan keluhan tambahan, serangan asma misalnya, maka segera berkonsultasi ke petugas kesehatan, atau setidaknya gunakan obat yang memang sudah dianjurkan untuk mengatasi perburukan keluhan," ujarnya.


Baca juga: Guru Besar ITB sebut pentingnya pemantauan polusi di luar Jakarta
Baca juga: Pemprov DKI perbaiki kualitas udara dari transformasi Transjakarta

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2023