Jakarta (ANTARA) - Perang Enam Hari (PEH) antara kubu negara-negara Arab dan Israel 56 tahun lalu merupakan tragedi umat manusia yang menyisakan trauma bagi ribuan prajurit yang menjadi penyintas dan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.

Selain kisah-kisah memilukan, PEH juga menciptakan ragam cerita tentang heroisme, keberanian, semangat korps atau kebalikannya dan juga terkait taktik, strategi serta keandalan teknologi yang dijadikan bahan kajian.

Dari jumlah korban jiwa, perang yang berlangsung dari 5 sampai 10 Juni 1967 itu terbanyak sejak Perang Dunia II, juga dari jumlah pesawat udara, tank, dan kendaraan lapis baja, radar, artileri, peluncur rudal dan fasilitas, serta situs-situs militer lainnya yang hancur atau rusak total.

Begitu menerima laporan intelijen tentang kesiapan lawan, Israel langsung mengambil inisiatif serangan udara secara masif ke otak (pusat-pusat komando) dan jantung lawan (konsentrasi pasukan, sistem pertahanan udara dan fasilitas militer lainnya).

Secara bergelombang, pesawat-pesawat tempur Israel menyasar belasan pangkalan udara di berbagai lokasi di Mesir, sehingga skadron-skadron pesawat yang masih parkir di landasan tidak sempat mengudara.

Jumlah pesawat Mesir yang dilumpuhkan di hari pertama dilaporkan dalam berbagai versi. Ada yang menyebutkan 400-an unit, termasuk 30 unit pengebom stategis TU-16, 90 unit MiG-21, 20 unit MiG-19, 25 unit MiG-17, dan 32 unit pesawat pendukung lainnya (semua buatan Uni Soviet).

Media Global semula meragukan kebenaran tentang besarnya kerugian di pihak Mesir akibat serangan kilat Israel dan baru mempercayainya setelah hingga hari terakhir perang (10 Juni), nyaris tidak ada manuver-manuver kekuatan udara Mesir.

Israel dilaporkan hanya kehilangan 46 unit pesawat tempurnya, 13 unit di antaranya dijatuhkan oleh sistem pertahanan udara (hanud) Mesir, selebihnya mengalami kerusakan atau jatuh dalam pertempuran udara (dog fight).

Pilot-pilot pesawat tempur Israel kabarnya tidak terkecoh untuk menyerang dummy atau pesawat tipuan yang dijejerkan di 18 pangkalan udara Mesir yang diserang, karena mereka sudah dibekali data intelijen yang akurat.

Mesir saat itu sebenarnya memiliki rudal-rudal hanud SA-1 Guild dan SA-2 Guideline eks-Uni Soviet, namun sebagian besar, termasuk radar-radar pemandunya, dibutakan oleh serangan pesawat-pesawat Israel.

Selain itu, pesawat-pesawat Israel terbang dalam formasi di ketinggian rendah sehingga lolos dari deteksi radar lawan, sebaliknya di hari pertama, awak hanud Mesir ragu menembak pesawat musuh dengan artileri atau rudal antiserangan udara.

Soalnya, saat serangan Israel dimulai, panglima AB Mesir Marsekal Abdel Hakim Amer sedang melakukan inspeksi pasukan di fron Sinai dan kesulitan mendarat karena sebagian besar pangkalan AU hancur.

Unit-unit hanud Mesir tidak ingin mengambil risiko salah tembak, apalagi jika sampai panglimanya yang terkena sehingga situasi ini membuat pesawat-pesawat tempur Israel leluasa bergerak.

Sebaliknya tank-tank Mesir, Suriah, dan Yordania yang bergerak di padang pasir terbuka menjadi sasaran empuk pesawat-pesawat Israel karena “payung udara” mereka yang ditulangpunggungi pesawat-pesawat MiG-21 lumpuh.

Dari jumlah korban manusia, Israel dilaporkan hanya kehilangan 700-an tentara di ketiga fron pertempuran, yakni Sinai, Mesir, 550 orang di Lembah Yordan dan 150-an di Dataran Tinggi Golan, Suriah.

Mesir selain kehilangan 80 persen pesawat tempur, tank, artileri, radar, dan peluncur rudal, sekitar 10.000 sampai 15.000 prajurit tewas atau hilang, sementara 5.000 prajurit dan 500 perwira ditawan musuh.

Yordania kehilangan 700-an prajurit, 533 orang ditawan musuh, Suriah 2.500 prajurit tewas, 600-an ditawan, sedangkan Irak dan Lebanon mengalami kerugian ringan karena tidak sempat berhadapan langsung dengan Israel, sebab perang keburu berakhir dengan cepat.

Keterlibatan Suriah dalam PEH juga didorong ajakan Presiden Mesir Gamal Andel Nasser yang mengklaim, pasukannya berhasil memukul mundur Israel dan sedang menuju Tel Aviv, ibu kota negara Yahudi itu.

Setelah melumpuhkan kekuatan Mesir dan Yordania, pasukan Israel lalu fokus menghadapi kekuatan Suriah di fron utara dan akhirnya berhasil mengalahkannya, merebut Dataran Tinggi Golan.

Suriah, selain kehilangan ribuan prajurit, separuh kendaraan tank, lapis baja dan artileri juga harus melepaskan Dataran Tinggi Golan yang sangat strategis dari sisi militer itu kepada pasukan negara Yahudi.

Teoritis, pasukan Suriah yang menguasai Dataran Tinggi Golan mestinya menang, karena sistem persenjataan yang dibangun di area ketinggian tersebut selain terlindung dengan baik juga dengan leluasa bisa mengincar lawan yang mendekat.

Pengamat militer menilai, dari Dataran Tinggi Golan, wilayah Israel yang berjarak “sepelemparan batu” di bawahnya dengan mudah bisa dibombardir dan dari ketinggian itu, ibaratnya “gerakan seekor tikus pun mudah diendus”.

Namun memanfaatkan data dari intelijen Mossad, Israel dapat mengetahui persis posisi meriam-meriam, sistem pertahanan, bunker dan lorong-lorong labirin untuk melindungi pasukan Suriah, sehingga dengan cepat menghancurkannya.

Spion Yahudi, Eli Cohen yang berhasil disusupkan ke ibu kota Suriah, Damaskus, memanfaatkan keakrabannya dengan Presiden Suriah Amin al-Hafez yang dikenalnya saat ia masih berpangkat mayor sebagai atase militer di Kedubes Suriah di Buenos Airez, Argentina.

Menurut catatan, saat PEH berlangsung, Amin al-Hafez yang menjabat Ketua Dewan Presidensial Suriah (Juli 1963 – Feb. 1966) digantikan oleh Presiden Nureddin Al Atasi (Februari 1966 – November 1970).

Saking akrabnya dengan elite militer Suriah yang menganggapnya sebagai sosok nasionalis dan berpengetahuan luas, Cohen dengan nama samaran Arab, Kamil Amin Taabes ditawari berbagai jabatan, termasuk menjadi menteri pertahanan. ​​​​​​

Cohen, bahkan pernah diajak menginspeksi kesiapan tempur dan posisi pasukan Suriah di Bukit Golan hingga ia mengetahui sistem pertahanan dan perlindungan pasukan Suriah yang ditempatkan di lokasi srategis itu.

Nyawa Cohen berujung di tiang gantungan setelah tanpa disengaja petualangannya terbongkar akibat pengaduan Kedubes India di Damaskus yang mengalami gangguan komunikasi radio.

Dengan bantuan Dinas Rahasia Soviet (KGB), militer Suriah berhasil menemukan asal gangguan tersebut, yakni perangkat komunikasi yang digunakan Cohen di tempat kos-kosannya, di dekat Markas Besar AB negara itu.

Israel berhasil merebut Bukit Golan yang strategis walau para petinggi militernya semula sempat ragu, penyerangan berpotensi bakal mengorbankan 30.000 nyawa prajuritnya, karena lawan terlindung di lorong-lorong di perut perbukitan dengan baik.

Hal sama dialami Yordania yang hampir 90 persen kekuatan militernya lumpuh, termasuk lebih seribu anggota pasukannya tewas, ratusan tank M-48 dan seluruh skadron (24 unit) pesawat pembom Hawker Hunter (eks-Inggeris) miliknya hancur.

Yordania semula juga ragu berperang, namun akhirnya mengikuti desakan warga Palestina pro Arab yang jumlahnya lebih besar dari penduduk asli, karena jika tidak, bakal memicu gejolak politik di dalam negeri.

Selain itu, Raja Hussein juga diyakinkan dan diminta bergabung oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang mengklaim, pasukannya sudah diambang kemenangan melawan Israel. PEH berakhir, setelah dilakukan gencatan senjata sehari sesudahnya (pada 11 Juni, 1967).


Mesir percaya diri

Para pemimpin, petinggi militer, dan rakyat Mesir saat itu sebenarnya sangat percaya diri bakal memenangi perang yang bertujuan mengenyahkan negara Yahudi dari muka Bumi.

Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser berhasil menanamkan kebanggaan nasional rakyatnya dan juga di dunia Arab, dielu-elukan sebagai tokoh pemersatu, terutama dalam konteks perang melawan Israel.

Nasser yang semula mengudeta Raja Farouk pada 1952 juga dianggap sebagai simbol perlawanan Arab setelah pada Perang Arab – Israel Pertama pada 1948 dikalahkan oleh negara Yahudi itu.

Di tengah era Perang Dingin saat itu, Uni Soviet yang berada di belakang negara-negara Arab menggelontorkan alutsista yang dibutuhkan oleh Mesir dan Suriah untuk berperang.

Mesir dan Suriah mendapatkan semua alutsista yang terbilang canggih di eranya, seperti MiG-21 dan pembom TU-16, rudal-rudal hanud SA-1 Guild dan SA-2 Guideline, serta tank-tank T- 54,T-55 dan PT-76 dalam jumlah yang mengungguli Israel.

Pada Perang Arab- Israel pertama, Mesir bersama Arab Saudi, Lebanon, Suriah, dan Jordania menyerbu Israel sehari setelah deklarasi kemerdekaannya (15 Mei 1948), namun Israel malah berhasil memperluas wilayahnya, sebaliknya warga Palestina terusir.

Obsesi untuk membalas dendam atas kekalahan pertama pihak Arab dalam perang Arab – Israel pada 1948 itu yang juga agaknya ikut memompa tekad mereka untuk menghapus Israel dari muka Bumi.

Mesir dan Suriah didukung sekitar 787-ribuan prajurit, 900-an tank T-34 da T-54, 900-an pesawat tempur berbagai varian MiG (MiG-17, MiG-19 dan MiG-21), dan puluhan pembom TU-16, sedangkan AU Jordania yang diperkuat sekitar dua lusin pesawat Hawker Hunter buatan Inggris.

Israel berkekuatan 264 ribu personil , 400-an tank M-48, Patton dan M-50 Super Sherman buatan AS serta tank ringan AMX-13 Perancis, sedangkan AU-nya didukung 200-an pesawat A-4 Sky Hawk , Phantom F-4 (semua buatan AS), Super Mystere, Ouragan dan Mirage III buatan Prancis.

Dari sisi persenjataan, PEH berbeda dengan Perang Rusia vs Ukraina yang masih berlangsung sejak invasi Rusia 24 Feb. 2022 dengan tampilnya drone-drone serang, rudal anti tank dan rudal hipersonik presisi tinggi, berjangkauan lebih jauh dan lebih mematikan.

Dalam PEH, selain peran intelijen, pesawat tempur sebagai tulang punggung matra udara dan tank-tank serta artileri berat berkontribusi besar untuk memenangi perang, walau rudal sudah digunakan secara terbatas.

Penggunaan rudal dari permukaan ke permukaan pertama kali teruji dalam pertempuran (combat proven) saat kapal cepat rudal (KCR) Kelas Komar AL Mesir berhasil menenggelamkan kapal perusak Israel INS Eilath sekitar tiga bulan setelah Perang Enam Hari (21 Oktober 1967).

KCR AL Mesir yang sedang bersandar di pangkalannya di Port Said di layar radarnya menangkap INS Eilat buatan Inggeris 1944 sedang melintas, lalu mengirimkan dua rudal P 15 Termit (versi Barat: SS-N-Styx). Sebanyak 44 dari 99 awak Eilat tewas.

Perang Enam Hari berakhir dengan gencatan senjata pada 11 Juni 1967. Israel berhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Sinai milik Mesir, Dataran Tinggi Golan, Suriah, serta Tepi Barat dan Yerusalem timur yang semula di bawah penguasaan Yordania.

Alih-alih menghapus Israel dari muka Bumi, pasca-PEH malah menambah luas wilayah negara Yahudi itu sekitar 300 Km ke arah selatan, 60 Km ke arah timur dan 20 Km ke utara atau total sekitar 63.000 Km2.

Mesir masih mencoba lagi menyerang Israel dalam Perang Yom Kippur pada Oktober 1973, namun kalah lagi walau pada hari-hari pertama pasukannya berhasil mendobrak benteng pertahanan Israel, lalu menyeberangi Terusan Suez.

Setelah itu, Mesir berdamai dengan Israel berdasarkan Perjanjian Kamp David, AS 1978 disusul Yordania pada 1993 dan negara-negara Arab lainnya (Uni Emirat Arab, Sudan dan Bahrain, pada 2020), sementara Arab Saudi diam-diam juga menjalin hubungan dengan Israel.

Persoalan yang masih tersisa sampai kini, yakni rakyat Palestina, yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan wilayahnya yang belum dikembalikan oleh Israel. (ns/berbagai sumber)

*Penulis adalah mantan Wapemred LKBN ANTARA


 

Copyright © ANTARA 2023