Jakarta (ANTARA) - Dalam serial dokumenter terbaru dari Barack Obama berjudul "Working: What We Do All Day", Natarajan Chandrasekaran yang menjabat sebagai Ketua Tata Sons, induk konglomerasi multinasional Tata Group mengatakan bahwa kemakmuran tidak bisa diukur hanya dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

"Kecuali kita memperbaiki kondisi saat ini," lanjut Natarajan  saat berbincang dengan Obama.  "Kondisi saat ini" yang dimaksud itu adalah ketidakadilan di berbagai jenis pekerjaan termasuk yang dialami generasi muda.

Kondisi sulit itu juga terkait dengan perubahan iklim, karena pada beberapa tahun terakhir cuaca ekstrem kerap muncul seperti banjir besar, longsor, badai hingga kebakaran hutan yang memakan korban jiwa maupun harta di berbagai negara.

Melakukan aksi radikal dengan kolaborasi menjadi solusi yang digaung-gaungkan guna mengatasi masalah perubahan iklim, termasuk dalam "Ecosperity Week 2023" di Singapura dengan tema "Breakthroughs for Net Zero".

Presiden Joko Widodo yang hadir dalam acara tersebut mempromosikan peluang investasi, terutama di bidang transisi energi, infrastruktur hijau dan juga pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara.

"Indonesia serius berkomitmen dalam transisi energi. Kami punya potensi besar di Energi Baru Terbaharukan (EBT), hampir 434 ribu gigawatt dari geothermal, angin, surya, biofuel dan hidro (air). Ada potensi besar untuk memproduksi produk-produk hijau dari industri hijau yang saat ini menjadi sektor prioritas dalam hilirisasi seperti solar panel di industri manufaktur dan kendaraan listrik," kata Presiden Jokowi dalam pidatonya pada Ecosperity Week 2023 pada Rabu (7/6).


Mencari dana hijau

Climate Finance Senior Associate  dari Global Green Growth Institute (GGGI), Titaningtyas dalam program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta  mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi harus dilakukan berbarengan dengan memelihara lingkungan sekaligus menjaga ekosistem sosial.

ICJN diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Denmark di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas jurnalis khususnya soal perubahan iklim.

Mendorong pertumbuhan sosial dan lingkungan berarti mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Jika melakukan peningkatan 'human resources' sehingga 'human capital' naik, maka akhirnya juga bisa berkontribusi pada PDB suatu negara.

Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai pemicu perubahan iklim sebesar 29-41 persen pada 2030 dan berkomitmen "zero emission" atau "nol emisi" pada 2060.

Bahkan, dalam dokumen kontribusi nasional atau Nationally determined contribution (NDC) yang ditingkatkan, Indonesia menargetkan pengurangan emisi pada 2030 sebesar 31,89 dengan usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional, serta menjadikan isu pembangunan lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai agenda prioritas nasional.

Namun persoalannya, berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, rata-rata anggaran nasional baru hanya memenuhi 23,5 persen dari kebutuhan pendanaan perubahan iklim.

Dari perhitungan Peta Jalan NDC, Indonesia diperkirakan butuh Rp343 triliun per tahun (27 persen dari APBN) hanya untuk mitigasi dalam mencapai target NDC. Hal tersebut belum termasuk biaya adaptasi sehingga secara total pendanaan yang dibutuhkan untuk adaptasi periode 2021-2030 diperkirakan sebesar 77,81 miliar dolar AS (atau sekitar Rp1.159 triliun) demi mengurangi risiko potensi kehilangan PDB sebesar 2.87 persen.

Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi persoalan tersebut? Jawabannya adalah sumber pendanaan internasional. Salah satunya berasal dari GGGI. GGGI adalah organisasi internasional antarpemerintah yang didirikan pada 2012 saat Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20). GGGI didirikan untuk mendukung dan mempromosikan model pertumbuhan ekonomi yang dikenal sebagai pertumbuhan hijau.

GGGI memiliki lebih dari 30 program di 20 negara dan membantu pemerintah memobilisasi investasi hijau di lapangan dengan membuat proyek-proyek "bankable" dan mengarusutamakan pertumbuhan hijau ke dalam target perekonomian dan pembangunan regional atau nasional.

Selain GGGI, ada juga Green Climate Fund (GCF) yaitu dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi GRK (mitigasi) dan meningkatkan kemampuan untuk menanggapi perubahan iklim (adaptasi). Lembaga pendanaan ini didirikan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2010.

Indonesia sudah ikut mengakses GCF melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) selaku National Designated Authority (NDA) yang berfungsi sebagai penghubung utama antara negara bersangkutan dengan GCF.

GCF menawarkan instrumen keuangan yang beragam, termasuk pinjaman lunak (senior dan subordinasi), ekuitas, jaminan, dan hibah. Instrumen keuangan ini memungkinkan GCF untuk menyesuaikan dukungan keuangannya dengan kebutuhan proyek entitas publik, swasta dan non-pemerintah.

Pembiayaan hijau tersebut dapat menutup kesenjangan finansial dengan tiga cara.  Pertama, menyediakan instrumen finansial yang inovatif misalnya dengan mencampur pembiayaannya antara hibah dengan pinjaman.

Kedua, GCF juga dapat menyediakan agar proyek-proyek lingkungan dapat lebih memenuhi persyaratan pembiayaan (bankable) misalnya dengan memberikan tenor pengembalian pinjaman lebih panjang agar proyek tetap berjalan tapi pinjaman juga bisa terbayar.

Ketiga, dengan merancang modal pembiayaan nasional demi mendukung negara dapat mengakses pembiayaan iklim internasional karena pembiayaan internasional ada regulasinya, sehingga kadang dari pemangku kepentingan nasional belum punya akreditasi untuk mengakses pembiayaan tersebut. 

Nilai GCF yang sudah dikucurkan ke Indonesia hingga Maret 2023, menurut Titaningyas, senilai 436,3 juta dolar AS. Nilai tersebut termasuk 103,8 juta dolar AS dari proposal Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Results-Based Payment periode 2014-2016.

Pendanaan tersebut dikucurkan karena keberhasilan Indonesia di bidang pengurangan emisi dari sektor kehutanan untuk periode 2014-2016. Dari jumlah 103,8 juta dolar AS itu, Indonesia sudah menerima pembayaran pertama sebesar 46 juta dolar AS atau Rp718,46 miliar dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Selain skema REDD+ RBP dari GCF, tersedia fasilitas sejenis seperti "Letter of Intent" Indonesia - Norwegia mengenai kerja sama pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan dan "Forest Carbon Partnership Facility" dari Bank Dunia.

Meski pendanaan internasional banyak tersedia, namun banyak juga tantangan untuk dapat mengakses pendanaan tersebut. Pertama, ketimpangan informasi terkait pendanaan perubahan iklim misalnya ada NGO di daerah punya proyek iklim tapi tidak tahu ada dana untuk membiayainya termasuk juga masih sedikit lembaga terakreditasi yang bisa mengakses pendanaan.

Untuk mengakses GCF memang dibutuhkan Entitas Terakreditasi yang sehingga dapat melaksanakan proyek dan program perubahan iklim dengan mengajukan proposal pendanaan kepada GCF kapan saja.

Saat ini entitas terakreditasi di Indonesias baru PT SMI dan Kemitraan. Entitas tersebut dapat mengirimkan Catatan Konsep (Concept Note) untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi dari GCF dengan berkonsultasi dengan BKF.

Tantangan kedua adalah kurangnya koordinasi antarpemangku kepentingan baik di level nasional maupun daerah sehingga dari GGGI perlu membantu untuk koordinasi termasuk juga untuk konsultasi. Tantangan ketiga,  karena proyek iklim masih dianggap berisiko sehingga perbankan memberikan suku bunga tinggi.

Untuk menjembatani hal tersebut maka pendanaan internasional seperti GCF dan GGGI mendorong supaya bisa perbankan mendanai proyek iklim biasanya dengan menyediakan tenor yang panjang atau persentase bunga di bawah pasar.


Dana hijau ritel

Selain pendanaan hijau internasional dalam jumlah besar, saat ini pendanaan hijau di tingkat ritel (eceran) juga meningkat, misalnya melalui surat berharga syariah negara (SBSN) alias sukuk ritel hijau yang telah mengumpulkan dana hingga Rp20,8 triliun.

Artinya, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, masyarakat bisa berpartisipasi untuk pembiayaan berbagai proyek yang sifatnya mentransformasikan menuju ekonomi hijau. Indonesia termasuk negara yang pertama menerbitkan sukuk hijau di pasar dunia. Langkah tersebut kini banyak diikuti oleh negara-negara maju dan berkembang. Khusus untuk sukuk hijau, animo masyarakat animo lumayan tinggi.

 Selain sukuk, Bank Mandiri juga sudah menawarkan "Green Bond" Bank Mandiri tahun 2023 dengan jumlah Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) sebesar Rp10 triliun dan jumlah nominal Tahap 1 sebanyak-banyaknya sebesar Rp5 triliun. Masa penawaran awal dilakukan pada 23 Mei 2023 hingga 6 Juni 2023.

Seluruh dana yang diperoleh dari hasil penawaran umum obligasi berwawasan lingkungan pasca dikurangi biaya-biaya emisi akan digunakan perseroan untuk melakukan pembiayaan (finance) atau pembiayaan ulang (refinance) atas kegiatan-kegiatan yang termasuk kategori Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).

Tidak ketinggalan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dalam penerbitan obligasi berwawasan hijau atau "green bond" membukukan 400 juta dolar AS dari penerbitan "green bond" yang menjadi bond premium di Singapore Exchange Securities Trading Limited (SGX-ST) atau Bursa Efek di Singapura.

Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai kembali atau refinancing proyek-proyek pengembangan sumber daya geothermal yang telah berjalan, sebagai upaya menyediakan akses ke energi bersih dan ramah lingkungan yang handal dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Selanjutnya diharapkan pihak swasta juga makin menyadari mengenai perlunya pendanaan hijau tersebut.

Dengan semangat gotong royong pemerintah, swasta, masyarakat hingga lembaga pendanaan internasional, maka jalan menuju  "Net Zero Emission" secara perlahan pun akan terbuka.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023