Gao, Mali (ANTARA News) - Pasukan Mali hari Senin mengosongkan pasar utama di Gao karena khawatir akan terjadi serangan, setelah kota wilayah utara itu selama tiga hari ini diguncang serangan bom bunuh diri dan penembakan oleh militan.

"Kami mengkhawatirkan serangan, karena itulah kami mengosongkan pasar Gao demi keamanan," kata seorang perwira berpangkat tinggi, lapor AFP.

Pedagang mengemasi barang-barang mereka dan meninggalkan Pasar Washington, yang terletak di dekat kantor polisi pusat yang digunakan sebagai pangkalan oleh militan bersenjata untuk melancarkan serangan gerilya ke kota itu pada Minggu.

Sebuah helikopter serang Prancis menghancurkan kantor polisi itu dalam serangan pada Senin pagi.

Wilayah sekitarnya ditutup oleh pasukan keamanan dan tentara Prancis membersihkan ranjau di daerah tersebut.

Tembakan-tembakan senapan sporadis terdengar di wilayah utara kota itu.

Beberapa sumber medis dan militer mengatakan, sedikitnya dua militan garis keras dan tiga warga sipil tewas dalam pertempuran Minggu, dan 17 orang lagi cedera.

"Kami menerima 15 pasien dengan luka-luka tembakan, semuanya warga sipil," kata Dokter Fatoumata Kante di ruang gawat darurat.

Dua prajurit Mali cedera ringan, kata seorang perwira.

Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), salah satu kelompok yang menguasai Mali utara sebelum dihalau oleh pasukan intervensi Prancis yang diluncurkan pada 11 Januari, mengklaim bertanggung jawab atas serangan di kota itu dan mengancam akan melancarkan serangan-serangan lebih lanjut.

Pasukan yang dipimpin Prancis merebut kembali Gao pada 26 Januari dari militan terkait Al Qaida yang menguasai wilayah Mali utara selama 10 bulan setelah kudeta militer.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013