Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan tujuh langkah guna mengendalikan pencemaran udara yang meningkat seiring dengan kenaikan mobilitas warga masyarakat.

Jakarta, pada pagi hari selama 2 pekan terakhir, ini memang tampak berbeda. Hawa dingin yang umumnya terasa pada pagi hari, kini tidak terasa di kulit.

Sinar sang Surya pun tidak mampu menembus lapisan langit. Pun bukan awan biru yang terpampang di atas, melainkan pemandangan langit berwarna abu-abu. Ini bukan pertanda mau turun hujan. Tidak ada gemuruh suara petir mengetuk langit layaknya isyarat bakal turun hujan deras.
 
Langit berwarna abu-abu itu pertanda banyaknya asap yang menyelimuti langit Ibu Kota. Pemandangan itulah yang menggambarkan kualitas udara Ibu Kota saat ini.
 
Secara periodik, kualitas udara Jakarta akan mengalami peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau pada Mei -- Agustus dan akan menurun saat memasuki musim hujan pada September --Desember.
 
Penurunan kualitas udara saat kemarau terjadi berdasarkan tren konsentrasi PM2,5 tahun 2019 sampai dengan 2023. PM atau particulate matter merupakan partikel udara berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer).
 
Konsentrasi rata-rata bulanan PM2,5 pada bulan April 2023 sebesar 29,75 mg/m3 menjadi 50,21 mg/m3 pada bulan Mei 2023. Namun, konsentrasi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan Mei 2019 saat kondisi normal, yaitu sebesar 54,38 mg/m3.
 
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyebut bahwa sumber terbesar pencemaran udara Ibu Kota berasal dari sektor industri dan transportasi di suatu wilayah.
 
Sumber emisi suatu wilayah mempengaruhi wilayah lain karena adanya pergerakan polutan akibat pola angin yang membawa polutan tersebut bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Hal itu menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi di lokasi tersebut.
 
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, ada tujuh jenis bahan pencemaran atau polutan yang diteliti.

Sumber terbesar bahan pencemaran atau polutan SO2 (sulfur dioksida) berasal dari sektor industri sebesar 61,96 persen atau 2,637 ton, lalu pembangkit listrik sebesar 25,16 persen atau 1,071 ton, dan disusul sektor transportasi 11,58 persen atau 493 ton.
 
Adapun untuk polutan NOx (nitrogen oksida), CO (Karbon monoksida), PM10 (partikulat), PM2,5 (partikulat matter), BC (karbon hitam), dan non-methane volatile organic compounds (NMVOC) didominasi berasal dari sektor transportasi.
 
Sektor transportasi tersebut mendominasi dalam polutan NOx sebanyak 72,4 persen atau 76.793 ton, polutan CO sebanyak 96,36 persen atau 28.371 ton, polutan PM10 sebanyak 57,99 persen atau 5.113 ton, polutan PM2,5 sebanyak 67,04 persen atau 5.257 ton, polutan BC sebanyak 84,48 persen atau 5.048 ton, dan polutan NMVOC sebanyak 98,5 persen atau 19.936 ton.
 
Selain sektor transportasi kendaraan, penyumbang polutan CO terbesar di Jakarta yakni pembangkit listrik sebanyak 1,76 persen atau 5.252 ton, disusul industri sebanyak 1,25 persen atau 3.738 ton, perumahan sebanyak 0,59 persen atau 1.774 ton, dan sektor komersial 0,03 persen atau 90 ton.
 
Kualitas udara DKI Jakarta dipengaruhi oleh sumber emisi ketika pascapandemi COVID-19 aktivitas manusia yang menghasilkan emisi yang kembali meningkat.
 
Selain itu, kualitas udara juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti curah hujan, kecepatan dan arah angin, serta kelembaban udara.
 
Hujan akan membantu peluruhan polutan yang melayang di udara. Kemudian, kecepatan angin yang rendah di Jakarta menyebabkan stagnasi pergerakan udara sehingga polutan udara akan terakumulasi di suatu titik.
 
Udara yang terjebak itu juga dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan (O3) yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.
 
Adapun pola arah angin permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut menuju Jakarta dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5.
 
Terakhir, kelembaban udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inverse dekat permukaan. Inverse merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
 
Dampak dari keberadaan lapisan inverse ini menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain sehingga mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring.

Upaya Pemprov DKI
 
Berdasarkan data IQAir pada Senin (12/6) pukul 12.05 WIB, kualitas udara di DKI Jakarta sempat menduduki posisi kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
 
Kualitas udara di Jakarta saat itu mencapai AQI US 156 atau berada di posisi kedua udara terburuk setelah Hanoi, Vietnam, dengan AQI US 157.
 
 
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). Berdasarkan situs IQAir, kualitas udara di Jakarta pada Selasa (6/6/2023) pukul 16.52 WIB berada di angka 151 atau menempati posisi ketiga dengan kualitas udara terburuk di dunia. ANTARA FOTO/Fauzan/nym

Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta melakukan tujuh aksi untuk menangani pencemaran udara di Ibu Kota sebagaimana Ingub Nomor 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.

Upaya tersebut mencakup peremajaan dan uji emisi kendaraan umum dan pribadi, ganjil genap, tarif parkir, congestion pricing (penetapan harga kemacetan), pembatasan usia kendaraan, peralihan moda transportasi, serta peningkatan kenyamanan dan fasilitas pejalan kaki.
 
Kemudian dari segi polutan industri, DLH DKI melakukan pengendalian sektor industri, penghijauan pada sarana dan prasarana publik, serta peralihan energi terbarukan.
 
Selain itu Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor juga telah dikeluarkan untuk mengendalikan emisi dari sumber bergerak. Grand design pengendalian pencemaran udara juga telah disusun pada tahun kemarin dan akan dituangkan dalam Keputusan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU).

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto saat dihubungi menyatakan DLH juga terus bekerja sama dengan akademisi, praktisi, dan LSM peduli lingkungan dalam menyusun kajian regulasi.
 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga segera menambah ruang terbuka hijau (RTH) dan mendukung penggunaan kendaraan bertenaga listrik di Ibu Kota agar polusi udara di daerah dengan penduduk lebih dari 11 juta jiwa ini dapat dikendalikan.
 
Terakhir, Dinas Kesehatan DKI Jakarta terus mengoptimalkan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengurangi risiko penularan penyakit akibat udara DKI Jakarta yang tidak sehat.
 
Pelayanan kesehatan yang dilakukan yakni program promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (penyembuhan penyakit), serta rehabilitatif (pemulihan kesehatan).



Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023