Surabaya (ANTARA) - Dunia pendidikan di Kota Surabaya sedang sensitif dengan kata "wisuda". Terlebih saat-saat ini adalah waktu menjelang akhir tahun ajaran baru, yang merupakan momen akan berakhirnya jenjang pendidikan.

Satu kata tersebut menjadi bahan pembicaraan. Mungkin bukan hanya di Surabaya. Ada yang pro, tidak sedikit juga yang kontra. Bukan masalah momentumnya, tapi biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa yang dipermasalahkan.

Dulu, wisuda hanya dilaksanakan untuk para mahasiswa yang selesai menempuh ujian strata-1, strata 2, maupun strata 3 di perguruan tinggi. Tak hanya di Indonesia, tapi juga perguruan tinggi seluruh dunia.

Seremonialnya mengesankan. Memakai baju plus topi toga, lalu mendengar nama dipanggil pembawa acara untuk maju ke depan, menjadi momen yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Kadang, tak terasa air mata berlinang di pipi mereka yang menjalani wisuda. Terlebih, jika orang tua, ayah dan ibu, ikut hadir menyaksikannya langsung, lalu mendengar nama sang anak dipanggil maju. Di panggung kehormatan ia menerima ijazah dari rektor. Sangat-sangat membanggakan.

Suasana haru tak berhenti sampai di situ. Setelah seremonial berakhir, foto bersama keluarga menjadi momen tak boleh terlewatkan, bahkan seolah wajib. Karena akan menjadi kenangan tak terlupakan seumur hidup, baik untuk diri sendiri maupun keluarga.

"Ritual" itu biasanya dilanjut dengan tasyakuran, suatu momen mensyukuri nikmat dari Allah SWT karena seseorang telah diberikan kelancaran dalam belajar, sekaligus menjadi doa agar dimudahkan dalam mencari pekerjaan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kecuali saat pandemi COVID-19, yang tidak ada sama sekali kegiatan seremonial pendidikan, wisuda juga mulai diberlakukan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) atau setara dengan play group (PG), kemudian taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK).

Pada wisuda di PAUD, anak sudah harus memakai baju toga. Prosesinya sama seperti di kuliah. Nama anak dipanggil satu per satu maju ke panggung, lalu diberi ijazah yang disaksikan oleh orang tua.

Begitu juga saat lulus SD atau memasuki akhir masa kelas 6, lalu kelas IX atau setara kelas 3 SMP, hingga kelas XII atau setara 3 SMA. Seremonialnya pun sama persis.


Berbayar

Banyak kalangan menilai wisuda sebenarnya penting karena ada kenangan berkesan, plus membanggakan. Persoalannya di biaya alias berbayar.

Saat menjelang wisuda, pihak sekolah mengumumkan besaran uang yang harus dikeluarkan orang tua siswa untuk membiayai kegiatan anaknya di akhir tahun ajaran. Biaya itu kadang belum termasuk sewa atau membeli baju wisuda lengkap dengan topi toganya.

Padahal, pada saat bersamaan, orang tua juga berpikir mengenai biaya pendaftaran sang anak untuk sekolah ke jenjang lebih tinggi. Meski di sekolah negeri tidak dikenakan biaya masuk, termasuk bulanan atau SPP, namun biaya itu dibutuhkan untuk membeli peralatan dan perlengkapan sekolah.

Seperti yang disampaikan sebagian warga Surabaya ke Komisi D DPRD Surabaya, beberapa waktu lalu. Di komisi yang mengurusi bidang pendidikan itu, wali murid menyampaikan aspirasinya mengenai biaya tambahan untuk wisuda. Mereka bukan tidak setuju dengan momen wisuda itu.

Karena itu, Ketua Komisi D DPRD Surabaya Khusnul Khotimah mengingatkan pengelola sekolah agar tidak menggelar acara wisuda untuk jenjang pendidikan paling bawah hingga SMA, karena memberatkan orang tua siswa.

Politikus perempuan itu mengaku sudah dua tahun terakhir ini selalu menerima curahan hati orang tua siswa mengenai kegiatan yang menyerupai kelulusan seorang mahasiswa.

Wisuda sebetulnya sah-sah saja dilakukan, asal tidak memberatkan orang tua. Terlebih di tengah pemulihan ekonomi, seperti sekarang ini, setelah masyarakat keluar dari suasana pandemi COVID-19.

Sejumlah anggota legislatif lainnya sepaham dengan Khusnul Khotimah, seperti Arif Fathoni, yang menilai bahwa wisuda di sekolah sebaiknya tidak memberatkan para wali murid.

Menyikapi pro kontra ini, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi sudah menyampaikan ke sekolah bahwa tidak ada aturan wajib terkait pelaksanaan wisuda bagi pelajar TK hingga SMP, yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, sementara jenjang SMA/SMK di bawah wewenang Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Pemkot tak pernah mempersoalkan ada atau tidaknya pelaksanaan wisuda, namun kegiatan tersebut harus ada jaminan tak adanya paksaan yang membebani wali murid.

Karena itu, opsinya, harus ada kesepakatan bersama antara sekolah dengan orang tua siswa yang diwakili oleh komite sekolah.

Kalau sampai melanggar dari kesepakatan, maka pemkot membuka kesempatan untuk orang tua mengadu. Apalagi sampai ada pemaksaan untuk mengeluarkan biaya wisuda.

Bagi orang tua yang merasa keberatan, atau tidak mampu membayar, tapi tetap diminta uang, Pemkot Surabaya menyediakan layanan pengaduan ke nomor HP 081-25989-6163.

Wisuda memang momen tak terlupakan, prosesnya membanggakan. Tapi, kalau dipaksakan, maka kesan keduanya akan hilang. Akan tetapi, jika prosesi wisuda tak ada yang keberatan, maka sah-sah saja dilakukan. Dengan demikian, kesan tak terlupakan dapat, momen membanggakan juga didapat.

Meski kasus yang tersorot ada di Surabaya, tapi praktik wisuda ini juga marak di daerah lain, dengan dinamika serupa. Sejumlah orang tua di daerah lain juga tengah mendiskusikan masalah wisuda ini.

Orang Surabaya membawa diskusi wisuda ini dengan nada guyon, kemudian menyandingkannya dengan kata "wis sudah". "Wis sudah" itu dimaksudkan sebagai "sudah cukup", alias tidak perlu ada kegiatan lain, seperti wisuda.

Apapun pilihannya, tetap menggelar wisuda atau tidak, langkah yang diambil oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan memberi opsi atau pilihan, yakni melalui kesepakatan, telah menunjukkan bahwa negara selalu hadir untuk menyauti persoalan yang muncul di tengah masyarakat.

 

Copyright © ANTARA 2023