Jakarta (ANTARA) - Masyarakat diingatkan untuk bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045, agar teknologi kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) terkontrol secara demokratis dan membawa manfaat sosial. 

Ajakan itu disampaikan Partai Hijau Indonesia (PHI), yang baru-baru ini bersama Partai Hijau Korea Selatan (GPK) menggolkan aturan teknologi kecerdasan artifisial pada Kongres Kaum Hijau Sedunia (Global Green Congress) di Incheon, Korea Selatan.

“Tanpa kontrol yang demokratis, berkelanjutan dan memiliki manfaat sosial, maka kita --umat manusia- sangat rentan atas praktik penyalahgunaan data pribadi," kata anggota delegasi PHI, Johnson Chandra, melalui pernyataan yang diterima pada Senin. 

Selain itu, ujarnya, manusia akan rentan terhadap pengendalian informasi palsu dan pembatasan pengetahuan, yang  secara keseluruhan menjadi ancaman serius pada kemanusiaan.

Johnson juga memperingatkan bahwa teknologi kecerdasan artifisial mampu melakukan pengawasan massal (mass surveillance) yang bisa melanggar hak privasi, membatasi hak sipil dan politik, serta memicu praktik rezim totaliter. 

Pemerintah pada 2020 meluncurkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Republik Indonesia, yang merupakan arah kebijakan nasional dalam bidang prioritas teknologi AI. 

Strategi itu merupakan acuan bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan di bidang teknologi AI di Indonesia dari 2020 hingga 2045.

Sementara itu, keputusan global untuk mengatur teknologi AI telah dicapai pada 11 Juni pada Kongres Kaum Hijau Sedunia di Incheon. 

Kongres tersebut merupakan ajang bagi partai hijau dan organisasi pendukung politik hijau sedunia untuk berkumpul dan mengambil langkah-langkah terhadap berbagai perubahan yang berdampak pada lingkungan dan kemanusiaan. 

Pernyataan PHI menyebutkan bahwa kongres tersebut mengesahkan aturan teknologi kecerdasan artifisial --yang diprakarsai oleh PHI dan GPK-- berupa Resolusi Darurat untuk Regulasi Efektif pada Teknologi Kecerdasan Artifisial bagi Demokrasi, Keberlanjutan, dan Manfaat Sosial. 

Setelah berhasil mendapat persetujuan dari peserta kongres, yang terdiri dari 84 negara dan 829 peserta, partai-partai hijau sedunia wajib memperjuangkan penerapannya di masing-masing negara dan kawasannya, kata PHI.
  
Tiga hari setelah lahir resolusi tersebut, menurut pernyataan itu, Parlemen Eropa akhirnya berhasil menyepakati aturan mereka untuk pertama kalinya.

"Meskipun hanya urutan keempat dalam penguasaan kursi, Aliansi Partai Hijau Eropa mempunyai posisi penting dalam mekanisme voting di Parlemen Eropa," kata Johnson, seperti dikutip dalam pernyataan tersebut.

PHI merupakan salah satu anggota peninjau Global Greens, jaringan internasional partai-partai politik dan gerakan yang menerapkan Piagam Kaum Hijau Sedunia (Global Greens Charter). 

Piagam itu memuat enam prinsip, yaitu kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatif, antikekerasan, keberlanjutan, serta sikap menghormati perbedaan.  
 

Baca juga: Sekjen PBB dukung pembentukan badan pengawas kecerdasan buatan

Baca juga: Pengamat: Kecerdasan buatan bakal turunkan jumlah cabang perbankan

 

AI, topik terpopuler di Hannover Messe 2023

Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023