Kami minta 20 persen anggaran kesehatan untuk keseluruhan, terutama untuk memenuhi kebutuhan anak disabilitas dan mereka yang berkebutuhan khusus
Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengajukan alokasi mandatory spending sebesar 20 persen untuk menanggulangi masalah kesehatan pada anak, khususnya kaum disabilitas dan berkebutuhan khusus.

"Kami minta 20 persen anggaran kesehatan untuk keseluruhan, terutama untuk memenuhi kebutuhan anak disabilitas dan mereka yang berkebutuhan khusus," kata Komisioner KPAI Kawiyan dalam Dialog Forum Legislasi diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Mandatory spending merupakan pengeluaran negara yang wajib dialokasikan pada proporsi tertentu sebagai amanat undang-undang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menerbitkan jurnal yang menyebutkan masyarakat yang tinggal di negara yang mengalokasikan anggaran kesehatan 5--6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih mudah mengakses layanan kesehatan, dengan temuan lebih sedikit pengeluaran individu.

Baca juga: PKB sebut telah perjuangkan minimal mandatory spending RUU Kesehatan

Resilient and Responsive Health Systems (RRHS) menyebut butuh alokasi anggaran kesehatan lebih dari 5 persen dari PDB untuk bisa memberikan pelayanan yang baik untuk ibu dan anak.

Kawiyan mengatakan Pasal 47A Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah di RUU Kesehatan pada paragraf kesehatan ibu dan anak, lebih dominan menyinggung kesehatan remaja dan anak sekolah.

"Anak-anak itu usia 0-18 tahun, termasuk usia dalam kandungan. Anak berkebutuhan khusus, kalau lihat kebutuhan orang tua, lebih banyak pada terapi," katanya.

Baca juga: BPS: pemerataan akses pendidikan-kesehatan kunci atasi ketimpangan

Ia mengapresiasi dimasukannya layanan skrining ibu hamil dalam RUU Kesehatan, tapi yang ia harapkan berupa deteksi dini lanjutan terhadap anak yang akan lahir, sehingga kebijakan afirmasi bisa diambil pemerintah melalui mandatory spending.

"Kendala dalam penanganan kesehatan masih jauh. Butuh adanya mandatory spending bagi keuangan afirmatif," katanya.

Sementara itu Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengusulkan mekanisme rencana induk kesehatan lima tahun sebagai metode baru menggantikan program mandatory spending.

Baca juga: Kemenkes siapkan metode baru pengganti kebijakan "mandatory spending"

"Pengalaman mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuan. Tujuan dialokasikan mandatory spending bukan besarnya alokasi, tapi adanya komitmen spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program di sektor tertentu bisa berjalan," kata Menkes.

Berbekal pengalaman tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengusulkan metode lain yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai pemenuhan dari substansi alokasi anggaran kesehatan yaitu komitmen pemerintah untuk melaksanakan program di sektor tertentu.

Atas dasar itu pula pemerintah menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dalam RUU Kesehatan, baik di tingkat pusat dan daerah, seperti yang tercantum dalam Pasal 420 ayat (2) dan (3) RUU Kesehatan.

Baca juga: CISDI soroti penghapusan anggaran 10 persen dalam RUU Kesehatan
Baca juga: Sri Mulyani: Realisasi anggaran kesehatan 2022 Rp176,7 triliun


 

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023