Yang dikhawatirkan anggaran kesehatan kita jadi tidak memiliki acuan, karena dengan mandatory spending anggaran kesehatan kita masih cukup rendah dibanding negara lain
Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkhawatirkan penghapusan wajib anggaran (mandatory spending) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akan berdampak kepada target pembangunan Indonesia.

Apalagi, saat ini Indonesia baru saja kembali masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, yang rata-rata membutuhkan anggaran kesehatan sebesar 5,22 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini, anggaran kesehatan Indonesia baru mencapai 2,98 persen PDB.

"Yang dikhawatirkan anggaran kesehatan kita jadi tidak memiliki acuan, karena dengan mandatory spending anggaran kesehatan kita masih cukup rendah dibanding negara lain. Ini yang menjadi tantangan dan berimplikasi apakah target pembangunan bisa tercapai," ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam Diskusi Publik bertajuk "Menakar Penghapusan Mandatory Spending RUU Kesehatan", yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.

Mengacu ke berbagai negara, sebagian negara di dunia telah memiliki anggaran kesehatan yang jauh lebih tinggi dari Indonesia pada saat menerapkan kebijakan wajib anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di kawasan ASEAN, anggaran kesehatan Malaysia tercatat mencapai 3,7 persen PDB, Singapura 4,15 persen PDB, Thailand 3,8 persen PDB, dan Filipina 4,12 persen PDB. Kondisi tersebut, kata dia, turut terjadi pada negara-negara yang memiliki kesamaan karakter dengan Indonesia seperti Tiongkok sebesar 4,95 persen PDB dan India 3,27 persen PDB.

Untuk negara maju, rasio anggaran kesehatan terhadap PDB tercatat lebih besar lagi, yakni Amerika Serikat (AS) yang mencapai 16,66 persen, Jepang 10,7 persen, dan Inggris 10,01 persen.

Adapun pemerintah mengusulkan mekanisme rencana induk kesehatan lima tahun sebagai metode baru menggantikan program mandatory spending, yang cenderung mengikuti skema money follow program (perencanaan dan penganggaran yang terfokus).

Tauhid berharap pendefinisian dan kalkulasi anggaran kesehatan pada skema terbaru tersebut tidak bercampur dengan dana desa, yang juga memiliki wajib anggaran. Begitu pula dengan dana pendidikan serta pertahanan dan keamanan.

"Mudah-mudahan meski tidak ada mandatory spending, anggaran kesehatan tidak lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya," tuturnya.

Baca juga: CISDI soroti penghapusan anggaran 10 persen dalam RUU Kesehatan
Baca juga: Anggota Komisi IX dukung kenaikan anggaran kesehatan minimal 10 persen
Baca juga: Kemenkeu sederhanakan tata kelola anggaran lewat PMK baru

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023