Jakarta (ANTARA) -
Kedok merah muda yang digunakan penari topeng Betawi untuk menggambarkan karakter yang ceria seperti remaja. (Daffa Rifqi P.)

Boleh jadi belum banyak orang yang tahu bahwa tantangan terberat penari topeng Betawi adalah mempertahankan giginya tetap kuat.

Mengapa? Sebab topeng yang dikenakannya selama menari bukan disematkan ke telinga atau melingkari kepala, sehingga tak terjatuh, melainkan digigit dengan erat.

Penari juga tak sembarangan mengenakan kedok atau topeng yang bakal dibawakan karakternya. Masing-masing kedok dipercaya memiliki karakteristik dan daya magis yang kuat, sehingga penari harus benar-benar mampu beradaptasi saat mengenakan kedok dan seketika mengubah kepribadian, menggantinya dengan warna kedok yang berbeda.

Seniman Tari Topeng Betawi Caswanah menjelaskan tari topeng Betawi bukan sembarang tarian biasa. “Ada 3 kedok yang dikenakan pada saat tampil tari topeng tunggal yakni kedok putih, kedok merah muda atau kedok merah, dan kedok hitam,” ujar Caswanah, dalam perbincangan dengan ANTARA.

Setiap kedok menggambarkan karakter yang berbeda. Seperti kedok putih memiliki karakter anggun, layaknya perempuan dewasa. Lalu ada kedok merah muda dengan karakter centil atau tangkas, seperti remaja. Dan yang terakhir ada kedok merah atau hitam, dengan karakter yang keras, gagah, dan garang.

Bagi para pecinta budaya, mengenal tari topeng Betawi memberikan khazanah tersendiri. Tari yang biasa dibawakan oleh penari tunggal dalam beberapa tradisi atau pertunjukan ini membutuhkan keterampilan yang tinggi dalam mengubah karakter, gerakan, dan ekspresi wajah dengan cepat.

Karena dalam tari topeng ini, seorang penari akan memainkan berbagai peran atau karakter yang berbeda, menggunakan kedok-kedok yang berbeda.

Penari akan mengganti kedok secara cepat atau melakukan perubahan gerakan dan ekspresi untuk mencerminkan peran yang berbeda, agar mampu menciptakan perbedaan yang jelas dalam setiap peran yang mereka bawakan. Alur tarian biasa dimulai dari kedok putih, lalu diakhiri dengan kedok merah.

Tak cuma itu, di balik kedok itu masih tersimpan begitu banyak rahasia yang hanya diketahui oleh seniman dan para pecintanya.


Cerita kompleks

Bagi yang belum benar-benar mengenal tari topeng Betawi, di era modern saat ini tidak semua tari topeng dibawakan oleh penari tunggal.

Dalam beberapa pertunjukan, tari topeng Betawi melibatkan kelompok penari yang bekerja bersama-sama untuk menghidupkan karakter atau cerita yang lebih kompleks.

Ini dapat melibatkan interaksi antara beberapa penari yang menggunakan kedok yang berbeda-beda dan menciptakan dinamika yang lebih kompleks dalam pertunjukan.

Umumnya memang pertunjukan tari topeng oleh penari tunggal lebih disukai oleh penikmat budaya karena biasanya lebih mampu mengesankan penonton yang dapat melihat penari beralih dari satu karakter ke karakter lainnya dalam waktu yang cepat.

Hal ini juga memberikan kebebasan bagi penari untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan keahlian teknik tari yang tinggi.

Jadi, ada beragam variasi dalam cara tari topeng dibawakan, termasuk oleh penari tunggal maupun kelompok penari.

Demi mempertahankan kelestarian tari topeng Betawi, penari dan senimannya mulai banyak yang mengkreasikan tari topeng, meskipun pakem tetap dipertahankan kekhasannya.

Dengan cara ini, orisinalitas tari topeng dapat tetap dipertahankan dan dipahami dalam konteks yang lebih luas.

Dari sisi kostum, misalnya, tari topeng tetap dipertahankan kekhasannya dengan warna pakaian yang cerah dan warna yang kontras. Alasan penggunaan warna tersebut agar mudah dilihat dan dikenali orang lain.

Untuk busana tari topeng Betawi ini cukup berlapis-lapis. Dan biasanya, dalam pertunjukan tari topeng Betawi, terdapat beberapa alat musik tradisional yang digunakan untuk pengiring tarian.

Beberapa alat musik yang digunakan saat tari topeng Betawi juga dipertahankan kekhasannya, yakni gambang kromong, rebana Betawi, kompang, dan kendang.

Penggunaan alat musik tradisional ini tidak hanya memberikan pengiring musik, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya Betawi dan memberikan identitas yang khas dalam pertunjukan tari topeng Betawi.


Masih dilestarikan

Tari topeng bagi sebagian orang memang bukan sebuah pertunjukan yang bisa ditonton kapan saja. Setidaknya perlu upaya untuk bisa menikmatinya, karena tarian subkultur Betawi ini hanya dibawakan pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu pula.

Meskipun begitu, tarian ini merupakan salah satu subkultur Betawi yang keasliannya masih terjaga dan masih dilestarikan oleh para senimannya, terutama sanggar-sanggar Betawi yang ada di Jakarta.

Caswanah, misalnya, menjadi generasi penerus tari topeng Betawi sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Berkat ketekunannya pula, ia pernah menari sampai ke luar negeri dan menjadi penari terbaik dan termuda saat ajang lomba tari yang diadakan di Tunisia pada tahun 1985.

Sudah dari kecil Caswanah atau yang lebih dikenal dengan Mih Wanah diajari oleh sang engkong sebagai generasi pertama seniman tari topeng Betawi.

Tak mau kehilangan warisan budayanya, sampai saat ini Caswanah masih mengajar di Sanggar Topeng Betawi Setia Warga yang beralamat di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Ia tak sendiri. Setidaknya ada seniman lain bernama Andi Supardi atau yang akrab dipanggil Babeh Andi, yang merupakan cucu langsung dari generasi pertama tari topeng Betawi.

Andi adalah cucu dari pencipta tari topeng, yaitu Mak Kinong dan Kong Djioen.  Andi telah sepanjang tiga generasi mengajar dan terus melestarikan tari topeng hingga sekarang.

Keberadaan mereka menjadi kabar baik bagi setidaknya pecinta budaya Betawi bahwa tari topeng masih terus lestari hingga kini.

Bagi mereka yang ingin menikmati tarian ini, setidaknya tak cuma harus hadir dalam pernikahan adat Betawi, melainkan telah mulai merambah di acara-acara penting yang digelar di ibu kota.

Tarian ini kerap menjadi tarian pembuka untuk acara penting di gedung-gedung maupun ruang pertemuan. Acara seni bernuansa Betawi juga masih banyak dijumpai sampai saat ini, termasuk di pernikahan, khitanan, pesta, bahkan kumpul komunitas pun masih sering menampilkan tari topeng.

Terkait dengan lenong, masih banyak masyarakat yang salah kaprah memaknainya, padahal keduanya berbeda dalam banyak hal. 

Kini seiring berjalannya waktu dengan derasnya budaya asing yang masuk, unsur-unsur tari topeng banyak mengalami adaptasi karena akulturasi budaya yang terjadi.

Kondisi ini melahirkan bentuk baru dari tari topeng yang mencerminkan interaksi budaya yang kompleks.

Hani, seorang penari topeng Betawi, mulai tertarik mempelajari tari topeng karena keunikannya yang tidak banyak orang tahu.

Ia mempelajari tarian tersebut sejak masih duduk di bangku SMA dan hingga kini terus aktif dalam sanggar tari.

Hani menjadi cerminan bahwa tari topeng Betawi masih saja menarik minat generasi muda.

Meski memang tetap menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjadikan subkultur Betawi ini tetap terjaga kelestariannya, sehingga rahasia di balik tariannya tidak terkubur dalam kepunahan hingga tak terungkap.


*) Daffa Rifqi P. adalah adalah mahasiswa Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023