Jakarta (ANTARA News) - Usia sebelas tahun bagi manusia merupakan usia menapak remaja. Namun, bagaimana dengan PT Telkomsel? Operator seluler terbesar di Indonesia itu di usianya yang kesebelas justru terlihat memasuki masa kematangan dalam memberi layanan di industri telekomunikasi. Dalam fase itu PT Telkomsel terbukti bukan saja piawai dalam menyuguhkan layanan dan solusi telekomunikasi kepada konsumen, tetapi juga terlihat pandai membentuk citra positif perusahaan di mata masyarakat. Sulit dipungkiri publik, Telkomsel dari sisi teknologi dan fitur layanan boleh jadi merupakan terdepan melalui inovasi-inovasi, termasuk kesiapannya menghadirkan layanan seluler generasi ke tiga (third generation 3G). Namun, Telkomsel agaknya tetap perlu mencermati bagaimana perusahaannya di tengah persaingan teknologi untuk lebih membumi memberikan serngkaian program yang sifatnya peduli terhadap lingkungan. Puncak kepedulian ituterlihat ketika Telkomsel menggelar "Indonesia Sehat dan Santun", di Pandeglang, Banten, belum lama ini. Saat itu, sekitar 50 penderita bibir sumbing hatinya berbinar-binarlantaran mendapat biaya gratis operasi kosmetika. Bukan itu saja, Telkomsel juga telah membuktikan sebagai operator yang cepat memberikan respon ketika terjadi rangkaian bencana, seperti tsunami di Aceh, tsunami dan gempa di Nias, dan bencana longsor dan banjir Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta gempa di Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, khusus dunia pendidikan, Telkomsel setidaknya telah mengalokasikan dana sekira Rp2,2 miliar yang disebar ke sekitar 110 Sekolah Dasar 9SD) di tanah air, termasuk memberikan bantuan perangkat teknologi komputer kepada 26 yayasan sosial. Telkomsel juga menjembatani kepedulian terhadap dunia pendidikan, melalui program-program, seperti goes to campus, dan comuniclinic. Namun, publik juga bisa mempertanyakan, cukupkah kepedulian Terkomsel terhadap masyarakat seperti itu sebagai ukuran? Lantaran publik pun kini semakin kritis, seperti sudah cukup banyak perusahaan yang memperoleh citra buruk lantaran dinilai "tidak berpihak ke rakyat". Direktur Utama (Dirut) PT Telkomsel, Kiskenda Suriaharja, mengatakan, "bukan karena untuk unjuk rasa, tetapi kalau bukan kita siapa lagi yang peduli?" Pernyataan orang pertama di jajaram manajemen Telkomsel itulah yang menjadi salah satu fokus perusahaan, yakni selain peduli pasar, dan peduli industri sebagai kesinambungan perusahaan, mereka pun harus memperhatikan lingkungan. Dari sisi kepedulian pasar, menurut Kiskenda, harus juga terukur, yaitu dari luasnya jangkauan layanan, kualitas jaringan, fasilitas lengkap, layanan yang handal, dan tarif yang wajar. Siapa yang bisa membayangkan, Telkomsel sebelas tahun silam baru memiliki 149 menara pemancar (Base Transceiver Station/BTS), namun pada April 2006 telah menggelar lebih 11.000 BTS se-Indonesia Raya. Penetrasi pembangunan infrastruktur tersebut, diikuti dengan peningkatan jumlah pelanggan Telkomsel yang hingga akhir Mei 2006 mencapai sekitar 28 juta nomor. Jika pada 1995, seiring dengan perolehan izin sebagai operator sistem telekomunikasi telepon bergerak Global System for Mobile-communication/GSM, Telkomsel berhasil menggelar jaringan di seluruh provinsi, selain Jakarta juga merambah ke Ambon, Timor Timur --yang akhirnya di tahun 1999 berpisah dengan NKRI-- dan wilayah paling timur, Papua. Lebih dari itu, pada April 2006, Telkomsel sudah "memerdekakan" jaringan hingga di tingkat Ibukota Kecamatan (IKC) di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, atau secara keseluruhan telah menjangkau 95 persen wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk menambah layanan yang terbaik bagi konsumen, Telkomsel juga menjalin kerjasama dengan 252 operator seluler dunia. Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, keberadaan layanan Telkomsel hingga ke tingkat kecamatan memberi dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat. "Ini pantas mendapat apresiasi, karena setiap pertumbuhan satu persen satuan sambungan telekomunikasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar tiga persen," kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu. Peduli industri Banyak catatan penting yang bisa menjadi pertimbangan mengapa Telkomsel layak disebut sebagai "sang inovator" di industri telepon selular di negeri ini. "Konsistensi". Setidaknya, kata-kata ini menjadi salah kata kunci mengapa Telkomsel tetap terdepan. Pengamat telekomunikasi, multimedia dan informatika, KMRT Roy Suryo, mengatakan bahwa meskipun pada beberapa poin tertentu Telkomsel tidak selalu paling awal dalam mengaplikasikan teknologi dan layanan, namun di bagian akhir justru mampu mengembangkan ragam layanan terbaik. "Ini yang mendorong masyarakat antusias mengikuti setiap perkembangan demi perkembangan yang disuguhkan operator ini," ujar Roy Suryo. Telkomsel merupakan pelopor sekaligus inovator, baik aspek penggelaran jaringan, mulai dari sistem distribusi, pembayaran tagihan (billing system), hingga aplikasi teknologi. Terakhir adalah, ketika Telkomsel menjadi pemenang utama tender frekuensi spektrum 3G. Tender terbuka yang dilaksanakan di Kantor Ditjen Postel, PT Telkomsel menawar dengan harga tertinggi, yaitu Rp215 miliar untuk setiap lisensi 3G sebesar 5 Megahertz, mengalahkan PT Excelcomindo yang menawar Rp188 miliar, sedangkan PT Indosat Rp166 miliar. Tidak tanggung-tanggung, Kiskenda mengatakan, untuk menggelar 3G perusahaannya siap menggelontorkan dana hingga Rp3 triliun hingga tahun 2010. Ketika operator lain masih cenderung bingung mencari siapa yang menjadi pelanggan 3G, Telkomsel justru telah memiliki basis pelanggan yang potensial, yaitu pengguna General Packet Radio Services (GPRS) alias layanan paket data. Layanan yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan industri yang tengah berkembang ini memberikan tiga nilai tambah, yakni mobilitas yang tinggi, konektivitas nirkabel tanpa batas (wireless connectivity) dan peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan (business leveraging). Pada 2006, Telkomsel menggelontorkan dana pembelanjaan barang modal (capital expenditure/capex) senilai 603 juta dolar Amerika Serikat (AS), sedangkan pada 2005 dialokasikan sekirar 700 juta dolar AS. Sekjen Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), Rudiantara, mengatakan bahwa dana capex seluruh operator seluler pada 2006 akan mencapai sekira 2 miliar dolar AS, meningkat dibanding 2005 sekira 1,8 miliar dolar AS. Umumnya, menurut dia, alokasi capex masih didominasi untuk pembangunan infrastruktur kemudian untuk meningkatan fitur dan layanan lainnya. Kini, industri telekomunikasi nasional juga memasuki babak baru, yang ditandai dengan perolehan lisensi 3G. Dari sisi teknologi, 3G berbasis GSM terbilang baru lantaran belum banyak negara yang mengaplikasikan layanan ini. Tidak seperti jasa telepon bergerak berteknologi GSM saja atau pun CDMA (Code Division Multiple Access) yang lebih dulu hadir dan kini pelanggannya mencapai ratusan juta nomor di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Jauh hari sebelum memperoleh lisensi, Telkomsel menjadi operator pertama yang telah melakukan pengujuan 3G. Meski dalam pengujian 3G itu masih ada beberapa kendala, seperti suara terputus-putus dan gambar sesekali tidak fokus, tapi banyak kalangan menilai cukuplah untuk memberikan kepastian bahwa Telkomsel dari sisi teknologi dan komitmen telah siap. Namun, sebelum layanan 3G yang kelak diharapkan dapat memberi andil dalam mempercepat laju perekonomian nasional ini, ada baiknya belajar dari pengalaman di negara lain. Tidak sedikit operator telekomunikasi, termasuk di negara maju sekalipun, yang kelimpungan lantaran berurusan dengan proyek tersebut, meski juga banyak yang berhasil dan sedang berupaya mengimplementasi generasi keempat (fourth generation/4G). Realita pasar akhirnya mengandaskan ambisi mereka. Proyek 3G, ternyata dinilai belum ekonomis. Masih terlalu mahal untuk digeluti, paling tidak untuk saat ini. Ujung-ujugnya, lisensi pun dikembalikan lagi kepada pemerintah. Artinya, sudahkah para pemegang lisensi 3G nasional mengukur betul kemampuan mereka? Hal ini penting mengingat infrastruktur 3G bakal menyedot investasi cukup besar, yaitu diperkirakan 200 juta dolar AS bagi pemain baru, dan sedikit lebih murah bagi pemain lama yang telah memiliki infrastruktur. Harus diakui, berbicara soal 3G, operator tidak sepantasnya menjadi sorotan utama, tetapi juga harus didukung regulasi yang memadai dari pemerintah. Jangan sampai teknologi sudah layak dan memungkinkan untuk disajikan ke konsumen, tetapi tidak diakomodir oleh peraturan. Tapi, dari keseluruhan industri telekomunikasi, yang penting bagaimana mengelola risiko, terutama mulai aspek pendanaan hingga tingkat kemampuan mengelola, sehingga 3G tidak sekedar era. (*) Catatan: Artikel ini untuk mengikuti lomba penulisan menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-11 PT Telkomsel

Oleh Oleh Roike Sinaga
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006