Seoul (ANTARA) - Pemerintah Korea Selatan pada Senin akan memaparkan rencana untuk membatasi pengeluaran masyarakat yang mengalir deras pada bimbingan belajar (bimbel), yang dianggap sebagai faktor utama di balik penurunan tingkat kesuburan negara tersebut.

Langkah itu dilakukan saat Presiden Yoon Suk Yeol bulan ini mengkritik tes masuk perguruan tinggi yang memasukkan pertanyaan yang tidak ada dalam kurikulum di sekolah umum, termasuk beberapa yang dijuluki "pertanyaan mematikan" karena kerumitannya.

Warga Korsel pada tahun lalu menghabiskan 26 triliun won atau setara Rp299 triliun untuk bimbel, meskipun kementerian pendidikan dan biro statistik pemerintah melaporkan penurunan populasi siswa di sekolah.

Hampir delapan dari 10 siswa di Korsel mengikuti kelas tambahan di bimbel yang dikenal di negara tersebut dengan sebutan hagwon.
Baca juga: China larang bimbel beri layanan daring

Ketergantungan yang tinggi pada bimbel membuat Korsel menjadi negara dengan biaya tertinggi di dunia untuk membesarkan anak, menurut sebuah laporan tahun lalu, dengan tingkat kelahiran terendah di dunia.

Saham perusahaan yang berkaitan dengan sektor pendidikan di Korea Selatan turun pada Senin pagi karena faktor kehati-hatian menjelang pengumuman pemerintah.

Saham Woongjin Thinkbig turun lebih dari 2 persen mendekati level terendah dalam lima bulan terakhir, sementara saham Multicampus dan MegaStudyEdu masing-masing menurun sekitar 1 persen.

Kementerian pendidikan Korsel pada Senin diharap mampu mendefinisikan dan memberi contoh "pertanyaan mematikan" yang ada dalam tes dan memerintahkan perguruan tinggi untuk menghapusnya dari ujian tahun ini yang dijadwalkan berlangsung pada November.
Baca juga: Aturan baru China ancam bisnis bimbel dan les privat

Sekolah negeri yang biasanya tidak memberikan pertanyaan mematikan seperti itu menjadi celah bagi banyak hagwon untuk mempromosikan layanan mereka untuk mengajar ketertinggalan siswa.

Alibi dari pertanyaan-pertanyaan mematikan yang muncul di tes universitas mengatakan bahwa pertanyaan itu digunakan untuk menyaring kandidat secara kompetitif.

Namun, Presiden Yeol mengungkapkan bahwa tidak setiap keluarga mampu membayar kelas hagwon yang mahal sebagai bekal anak mereka masuk ke perguruan tinggi.

Shin So-young, seorang aktivis di kelompok sipil, Dunia Tanpa Khawatir Tentang Bimbel, mengatakan perubahan yang direncanakan oleh pihak pemerintah mungkin tidak cukup untuk menahan persaingan yang tinggi dalam sistem pendidikan.

"Pemerintah perlu membuat rencana yang lebih luas guna mengatasi persaingan yang berlebihan untuk masuk ke beberapa universitas terbaik," ujarnya.

Baca juga: Puan: Kerja sama pendidikan Indonesia-Korsel atasi tantangan global

Sumber: Reuters

Penerjemah: Resinta Sulistiyandari
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023